JAKARTA, KOMPAS.com - Penerapan pilkada asimetris yang saat ini diwacanakan kembali oleh Badan Pengkajian MPR RI dikhawatirkan justru menimbulkan diskriminasi dan mengancam kesatuan bangsa.
Sebagai informasi, dalam model pilkada asimetris, maka akan ada beberapa kepala daerah yang tak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan ditunjuk oleh pemerintah.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah, menyebutkan bahwa sulit mencari indikator objektif bagi pemerintah, untuk menentukan daerah-daerah mana yang pemimpinnya bakal mereka tunjuk langsung tanpa pemilihan.
"Dari hasil studi kami, pelaksanaan pilkada asimetris bisa menimbulkan stigmatisasi. Ketika ada daerah yang mendapat perlakuan berbeda (tak lagi menerapkan pilkada langsung), ini bisa dipersepsikan sebagai perlakuan tidak adil dan merata," kata Hurriyah kepada Kompas.com, Jumat (23/9/2022).
Baca juga: Puskapol UI: Pilkada Asimetris Tak Cocok untuk Indonesia
"Ketika ada daerah yang dianggap tidak layak, tidak memenuhi syarat pilkada langsung, mereka akan merasa tidak puas, diperlakukan tidak adil," lanjutnya.
Pernyataan ini, menurut Hurriyah, berdasarkan studi yang dilakukan Puskapol UI ketika diminta mengevaluasi sistem pilkada oleh Kementerian Dalam Negeri pada 2020 lalu.
Ia menjelaskan, ketika itu pihaknya turun langsung ke sejumlah daerah untuk membaca respons atas wacana Pilkada asimetris dari penduduk maupun pemerintah di daerah-daerah.
Pilkada asimetris, jika diterapkan di Indonesia, disebut rawan persoalan ketatanegaraan karena menjadi kebijakan yang tak sejalan dengan prinsip negara kesatuan.
Baca juga: MPR Buka Peluang UU Pemilu dan Pilkada Digabung Jadi Omnibus Law demi Pilkada Asimetris
"Tujuan pemilu kan menciptakan persatuan. Kalau bicara pilkada asimetris, bisa berdampak munculnya disintegrasi," kata Hurriyah.
"Ada kecenderungan diskriminatif, karena (dalam menentukan kepala daerah yang ditunjuk) ada indikator kuantitatif, misalnya, dari IPM (indeks pembangunan manusia), PAD (pendapatan asli daerah). Kalau ini diterapkan, maka ini bisa meminggirkan masyarakat di daerah tertinggal," jelasnya.
Terlebih, penunjukan kepala daerah secara langsung oleh pemerintah berarti meniadakan partisipasi politik di tingkat lokal, suatu gejala yang berlawanan dengan semangat otonomi daerah dengan sistem desentralisasinya.
"Menurut kami, kalau dilihat dari faktor-faktor itu, memang masih sulit untuk menerapkan pilkada asimetris di tengah-tengah Indonesia yang situasinya sudah melalui pilkada langsung bertahun-tahun," ucap Hurriyah.
Sebelumnya diberitakan, wacana pilkada asimetris kembali mengemuka setelah Badan Pengkajian MPR RI bertemu dengan jajaran komisioner KPU RI pada Rabu (21/9/2022).
Ketua Badan Pengkajian MPR RI Djarot Syaiful Hidayat berdalih bahwa wacana ini diperlukan guna menekan korupsi sebagai imbas biaya politik yang timbul dalam kampanye kandidat kepala daerah dalam sistem pilkada langsung.
"Kita perlu juga mengkaji mana daerah yang betul-betul siap untuk melakukan pilkada secara langsung dan mana yang cukup dipilih melalui DPRD," ujar politikus PDI-P itu di kantor KPU RI, Rabu.