JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) mengkritik wacana pemerintah dan MPR RI mengubah model pilkada langsung menjadi asimetris dengan dalih menekan korupsi.
Sebagai informasi, Kementerian Dalam Negeri sejak kepemimpinan Tito Karnavian telah mengusulkan diterapkannya pilkada asimetris.
Dalam model pilkada asimetris, maka akan ada beberapa kepala daerah yang tidak dipilih langsung oleh rakyat melainkan ditunjuk oleh pemerintah.
Badan Pengkajian MPR RI juga mewacanakan hal serupa dalam pertemuan dengan KPU RI, Rabu (23/9/2022).
Baca juga: Ini Pertimbangan MPR Lakukan Kajian Pilkada Asimetris
Kemendagri dan MPR RI mengklaim, penunjukan ini bakal menekan biaya politik yang biasa digunakan para calon kepala daerah untuk berkampanye, sehingga dapat menekan korupsi ketika menjabat.
"Argumen ini sangat sumir dan tidak bisa dibuktikan. Apa indikator yang bisa memastikan ketika pilkada tidak langsung, korupsi bisa ditekan karena tidak ada biaya politik?" kata Direktur Eksekutif Puskapol UI, Hurriyah, kepada Kompas.com, Jumat (23/9/2022).
"Pilkada langsung memang membawa efek ikutan, tapi pilkada langsung bukan satu-satunya faktor penyebab korupsi," ujar Hurriyah menambahkan..
Hurriyah menekankan bahwa biaya politik bukan hanya timbul dari kampanye kandidat.
Ia meyakini, pilkada digelar langsung maupun tidak, biaya politik pasti tetap ada, hanya locus-nya (tempat) yang berganti.
Baca juga: MPR Buka Peluang UU Pemilu dan Pilkada Digabung Jadi Omnibus Law demi Pilkada Asimetris
Biaya politik itu umumnya berupa suap yang bisa timbul di DPRD atau partai politik dalam upaya lobi-lobi politik.
Selain itu, biaya politik juga amat mungkin muncul di birokrasi sebagai jual-beli jabatan, supaya nama si kandidat dapat diusulkan sebagai calon kepala daerah.
"Ada banyak faktor penyebab korupsi di Indonesia, tapi sistem pemilihan terbuka, kalau kita lihat kerjanya, tidak pernah menjadi faktor penyebab korupsi," kata Hurriyah.
"(Korupsi) ini kita bicara bagaimana struktur politik hingga tradisi patronase yang kuat. Zaman Orde Baru, semuanya (pemilihan) tidak langsung, korupsinya luar biasa," ucapnya membandingkan.
Baca juga: MPR Pertimbangkan Pilkada Asimetris, Sebagian Kepala Daerah Tak Lagi Dipilih Langsung
Saat ini, pemerintah sedang besar-besaran menunjuk Penjabat (Pj) Kepala Daerah sebagai imbas mundurnya pilkada di ratusan daerah ke tahun 2024.
Dalam penunjukan besar-besaran ini, Mendagri Tito Karnavia pernah mengungkapkan harapannya bahwa ini dapat menjadi model evaluasi terhadap sistem pilkada langsung yang dianggapnya berkaitan dengan kasus-kasus korupsi kepala daerah.
"Ini juga menjadi pertarungan dan menjadi tes tentang sistem demokrasi kita, terutama di daerah. Mekanisme pemilihan kepala daerah yang mana yang baik, yang langsung ataukah dipilih DPRD, ataukah ditunjuk ini lah mekanisme ditunjuk ini," ungkap Tito dalam arahannya kepada 48 pj kepala daerah di kantor Kemendagri, Kamis (16/6/2022).
"Kalau ternyata, mohon maaf, ada yang sampai korupsi, konsekuensinya kepada sistem. Rekan-rekan menjadi duta untuk membuktikan bahwa salah satu mekanisme penunjukan, penugasan, itu bisa menekan tindak pidana korupsi. Ini lah tes bagi kita semua, tes kepada sistem," lanjutnya.
Di samping itu, Tito juga tidak menutup adanya celah transaksi politik dalam memperoleh jabatan pj kepala daerah.
"Saya akan keras. Saya sudah sampaikan kepada jajaran otonomi daerah, seperti Pak Sekjen, kalau ada yang transaksional, saya sendiri yang akan bawa ke KPK," kata Tito.
Baca juga: MPR Sebut Wacana Pilkada Asimetris dan Pileg Proporsional Tertutup Tidak untuk 2024
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.