JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai bahwa Mahkamah Agung (MA) memerlukan perombakan dalam waktu dekat.
Operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Rabu (21/9/2022) malam yang menyeret Hakim Agung Sudrajad Dimyati dan 5 pegawai MA lainnya dianggap kian menegaskan kebutuhan tersebut.
"Harus ada perombakan total di Mahkamah Agung, terutama dalam membatasi jumlah hakim agung," kata Feri kepada Kompas.com, Jumat (23/9/2022).
"Mestinya, dengan perkembangan zaman saat ini, jumlah hakim cukup 7 atau 9 orang saja," ujarnya melanjutkan.
Baca juga: Hakim Agung Sudrajad Dimyati Terima Suap Rp 800 Juta Terkait Pengurusan Perkara di MA
Pada 19 Oktober 2021, jumlah hakim agung bertambah jadi 51 orang yang terbagi dalam beberapa kamar, yakni pimpinan 3 orang, kamar pidana 15 orang, kamar perdata 16 orang, kamar agama 7 orang, kamar militer 4 orang, dan kamar TUN 6 orang.
Jumlah tersebut masih di bawah jumlah ideal yang ditetapkan oleh UU Mahkamah Agung, yaitu 60 orang.
Feri juga menyoroti perlunya evaluasi dalam proses seleksi calon hakim agung, supaya hakim yang dilantik betul-betul mereka yang tanpa cacat integritasnya.
"(Agar muncul hakim agung) yang kita ketahui kapasitas dan integritasnya dalam membuat putusan serta rekam kariernya di masa lalu," kata Feri.
Baca juga: Sebelum Datangi KPK, Sudrajad Dimyati Sempat Berkantor di MA Jumat Pagi
Sementara itu, ditetapkannya Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka kasus suap membuat publik menilai bahwa Mahkamah Agung pro korupsi.
Pasalnya, sebelum menjadi Hakim Agung, Sudrajad Dimyati pernah tersangkut dugaan lobi-lobi politik.
Isu mengenai dugaan lobi di toilet DPR itu terjadi di sela-sela uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon Hakim Agung MA pada 18 September 2013.
"Saya pikir ada korelasinya ya antara sikap Mahkamah Agung yang sangat pro korupsi dengan apa yang terjadi dalam perkara (OTT) ini," ujar Feri.
Korelasi itu, kata Feri, terdapat pada indikasi bahwa terdapat tradisi koruptif dalam penyelesaian perkara di MA yang kental nuansa suap, sebagaimana turut diungkapkan salah satu pengacara yang terjaring OTT KPK Rabu malam, Yosep Parera.
Baca juga: Sudrajad Dimyati, Hakim Agung Pertama yang Jadi Tersangka KPK
Yosep Parera mengakui bahwa ada pihak yang menawarkan untuk membantu pengurusan sebuah perkara di MA dan tak memungkiri bahwa pengurusan perkara yang bergulir di MA itu dibarengi dengan permintaan sejumlah uang.
Bahkan, Yosep bersama pengacara lain, Eko Suparno juga mengaku telah memberikan uang kepada seseorang di MA untuk pengurusan perkara tersebut.
Di sisi lain, MA beberapa kali dikritik karena memangkas vonis bagi terpidana, termasuk terpidana korupsi.
Salah satu "sunat vonis" yang paling disorot adalah dipangkasnya vonis atas eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari 9 menjadi 5 tahun penjara.
Baca juga: MA Berhentikan Sementara Hakim Agung Sudrajad Dimyati
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.