JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah akhirnya memutuskan akan merevisi empat pasal dalam Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menjelaskan, perbaikan keempat pasal tersebut masuk dalam skema revisi terbatas alias dalam waktu dekat, termasuk penambahan satu pasal dalam UU ITE, yakni pasal 45C.
"Ada empat pasal yang akan direvisi. Pasal 27, pasal 28, pasal 29 dan pasal 36, ditambah satu pasal 45C, itu tambahannya," ujar Mahfud dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (8/6/2021).
Mahfud mengatakan, revisi terhadap keempat pasal tersebut bertujuan untuk menghilangkan multitafsir, pasal karet, dan upaya kriminalisasi.
Ketiga poin tersebut sebagaimana masukan yang diberikan kelompok masyarakat sipil selama proses pengkajian rencana revisi UU ITE dilakukan beberapa waktu lalu.
Kendati demikian, Mahfud menegaskan bahwa revisi terhadap empat pasal tersebut tak serta-merta mencabut UU ITE secara keseluruhan.
"Kita perbaiki, tanpa mencabut UU itu karena masih sangat diperlukan untuk mengatur lalu lintas komunikasi kita dalam dunia digital," terang Mahfud.
Mahfud juga mengungkapkan, keputusan revisi itu diambil setelah mengantongi persetujuan dari Presiden Joko Widodo.
Baca juga: Perjalanan UU ITE yang Akhirnya Resmi Direvisi oleh Pemerintah
"Tadi kami melaporkan kepada presiden dan sudah disetujui untuk dilanjutkan," ucap Mahfud.
Diketahui, keempat pasal tersebut kerap menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat yang aktif berselancar di dunia media sosial.
Adapun pasal 27 UU ITE berisi empat ayat, meliputi Ayat (1): "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."
Ayat (2): "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian."
Ayat (3): "Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Ayat (4): "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman."
Pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dijelaskan bahwa ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pemerasan dan/atau pengancaman yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Baca juga: Mahfud: SKB Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE Segera Diluncurkan
Kemudian Pasal 28 dalam UU ITE berisi dua ayat. Yakni Ayat (1): "Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik."
Ayat (2): "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA)."
Selanjutnya Pasal 29 UU ITE yang berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi."
Terakhir, Pasal 36 UU ITE yang berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain."
Tampung 6 permasalahan
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengungkapkan bahwa empat pasal yang bakal direvisi secara keseluruhan menampung enam pokok permasalahan. Mulai dari soal ujaran kebencian hingga fitnah.
"Menyangkut ujaran kebencian, bohong, judi, kesusilaan, penghinaan, fitnah," katanya.
Selain itu, Mahfud menjelaskan, revisi tersebut nantinya bakal memperkuat substansi dan menambah kalimat dalam UU ITE.
Hal itu dilakukan supaya memperjelas maksud dari istilah yang ada di dalam UU ITE.
Baca juga: Ini Isi 4 Pasal UU ITE yang Bakal Direvisi Pemerintah
"Jadi kita tidak memperluas UU itu, tapi UU-nya itu hanya direvisi agar pasal-pasal karetnya itu, yang dianggap menimbulkan diskriminasi atau kriminalisasi, itu hilang," tegas Mahfud.
Segera masuk legislasi
Dalam perbaikan ini, pemerintah berupaya bergerak cepat agar revisi segera masuk dalam proses legislasi di DPR.
Mahfud menuturkan, keempat pasal tersebut akan masuk proses legislasi setelah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melakukan sinkronisasi.
"Ini nanti akan dimasukkan melalui proses legislasi, akan dikerjakan oleh Kemenkumham untuk penyerasian atau untuk sinkronisasi dan dimasukkan ke proses legislasi berikutnya," kata Mahfud.
Selain itu, Mahfud juga mengungkapkan, dalam waktu dekat akan ada realisasi penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga kementerian dan lembaga tentang pedoman kriteria implementasi UU ITE.
SKB itu akan ditandatangani Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate.
Menurut Mahfud, pedoman kriteria implementasi UU ITE tersebut sejauh ini sudah dibahas berkali-kali oleh ketiga lembaga dan kementerian tersebut.
Karena itu, dalam waktu dekat pedoman kriteria implementasi tersebut dapat segera diluncurkan.
"Ini sudah bisa diluncurkan karena sudah dibahas berkali-kali melalui ketiga institusi itu dan sudah diulang-ulang, sehingga nanti tinggal diluncurkan dalam waktu yang tidak terlalu lama," imbuh Mahfud.
Baca juga: Mahfud: Revisi Terbatas 4 Pasal UU ITE Mencakup 6 Permasalahan
Buka akses SKB
Sementara itu, sejumlah kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi serius revisi UU ITE mendesak pemerintah untuk membuka akses dokumen SKB sebelum ditandatangani.
Hal itu dilakukan supaya pemerintah mendapat masukan dari masyarakat.
"(Mendesak) membuka akses dokumen SKB, baik draf maupun lampiran, kepada publik terlebih dahulu agar mendapatkan masukan dari publik," ujar Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin, Senin (24/5/2021).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.