Hal yang sama juga terjadi pada dualisme PPP yang terjadi antara Djan Faridz dan Romahurmuziy. Keduanya merupakan kader partai berlambang ka’bah.
Kedua kubu berseteru lantaran perbedaan dukungan terhadap calon presiden di Pilpres 2014. Pada akhirnya kubu Romahurmuziy yang disahkan kepengurusannya oleh Kementerian Hukum dan HAM serta memenangkan sengketa hingga di Mahkamah Agung.
Dalam dualisme yang terjadi di PPP juga tidak melibatkan pejabat Istana sebagaimana yang terjadi di Partai Demokrat saat ini.
Baca juga: Jhoni Allen Sebut SBY Tahu soal Mahar Pilkada dan Digunakan untuk Beli Kantor Demokrat
Demikian pula dualisme yang terjadi di Hanura antara Oesman Sapta Odang dengan Wiranto. Keduanya sama-sama merupakan kader Partai Hanura meskipun saat itu Wiranto menjabat Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Terbaru, dualisme yang terjadi di Partai Berkarya antara Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dengan Muchdi Pr yang juga sama-sama kader partai tersebut. Dan lagi, tak ada pejabat Istana yang terlibat langsung dalam dualisme Partai Berkarya.
Menanggapi anomali dualisme yang terjadi di Demokrat, Pengamat politik dari Lembaga Survei Kedai Kopi Hendri Satrio mengatakan peristiwa sama bisa saja terjadi di partai politik lain, di mana pejabat pemerintah mengambil alih partai politik dengan menjadi ketua umum.
"Bisa saja ini jadi yurisprudensi bagi partai politik mereka juga, yurisprudensi politik ya. Artinya, bisa saja ada pejabat pemerintah yang tiba-tiba mengambil alih partai politik mereka," tutur dia.
Oleh sebab itu, Hendri menilai kasus pengambilalihan kepemimpinan Demokrat seharusnya menjadi kekhawatiran semua partai politik. Terlebih lagi, jika Moeldoko mendapat pengesahan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dari negara.
Baca juga: Moeldoko Tak Hadiri Konferensi Pers Partai Demokrat Kubu Kontra AHY yang Digelar di Rumahnya
"Case ini sebetulnya bukan hanya mengkhawatirkan ke Partai Demokrat, kalau sampai Moeldoko dapat surat pengesahan dari negara, maka seharusnya semua partai politik juga worries, khawatir," tutur Hendri.
Secara terpisah, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai terpilihnya Moeldoko sebagai anomali politik dan demokrasi.
"Dari perspektif demokrasi, peristiwa KLB Sumut ini bisa dikatakan sebagai anomali politik dan demokrasi, tentu tidak lazim," kata Siti Zuhro.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.