Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jimly Sarankan Penerapan Sistem Peradilan Etika untuk Atasi Kelebihan Penghuni di Lapas

Kompas.com - 11/11/2020, 19:28 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menyarankan penerapan sistem peradilan etika sebagai salah satu solusi dalam mengatasi kondisi kelebihan penghuni di lembaga pemasyarakatan (lapas).

"Hukum itu hanya menghukum, membalaskan kesalahan. Tapi sistem etika tidak hanya memberi sanksi untuk kepentingan membalas kelasahan," ujar Jimly saat memberikan materi dalam acara Konferensi Nasional II Kehidupan Berbangsa yang ditayangkan secara daring, Rabu (11/11/2020).

Baca juga: Jimly: Lapas Over Kapasitas, Tak Semua Pidana Harus Dihukum Penjara

Menurut Jimly, sistem peradilan etika bertujuan menjaga kepercayaan publik terhadap institusi jabatan. Sebab, secara sistem ada peringatan pertama hingga peringatan ketiga.

"Itu sifatnya mendidik, bukan menghukum," lanjut Jimly.

Jimly mengingatkan bahwa selama ini pengadilan hanya dibuat untuk penegakan hukum saja. Kondisi ini, kata dia, memicu over kapasitas penghuni lapas.

"Kalau semua diselesaikan dengan hukum, beban hukum sudah terlalu berat, penjara pun telah penuh. Sekitar 300 persen sekarang kalau di kota besar (lapas) over kapasitas," ungkap Jimly.

"Secara nasional penjara sekitar 208 persen over kapasitas," ujarnya.

Baca juga: Dirjen PAS Baru Diminta Tuntaskan Persoalan Kelebihan Kapasitas Lapas

 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menyebut sistem peradilan etika sudah banyak diterapkan di berbagai negara.

Pada pertengahan 1990-an pun Majelis Umum PBB sudah merekomendasikan sistem peradilan etika untuk negara-negara anggota.

"Kemudian sekarang ini telah jadi gejala dunia. Jadi muncul kesadaran baru bahwa jangan semua masalah diselesaikan dengan pendekatan hukum," tambah Jimly.

Baca juga: Kelebihan Kapasitas Lapas dan Rutan di DKI, Didominasi Napi Kasus Narkoba

Jimly mengungkapkan, dari keseluruhan mantan tahanan yang telah selesai menjalani masa hukuman, hanya sekitar 30 persen saja yang tidak mengulangi kesalahannya lagi.

Sementara itu, sekitar 30 persen lainnya merasakan dendam.

"Apalagi kalau masuk penjara hanya karena perbedaan pendapat, karena salah, maka penegak hukum hanya cari orang salah bukan cari orang jahat," tuturnya.

Jika kondisinya seperti itu, mantan tahanan yang telah keluar dari lapas berpotensi besar masih menyimpan dendam.

Baca juga: Pemerintah Buat Grand Design Penanggulangan Kelebihan Kapasitas Lapas

 

Akan tetapi, Jimly mengingatkan ada sekitar 40 persen mantan tahanan yang semakin banyak melakukan kejahatan setelah keluar lapas.

"Yang paling gawat, 40 persen sisanya keluar penjara jadi semakin menjadi. Pencopet (bisa) jadi perampok, pemakai narkoba (bisa) berubah jadi bandar," kata Jimly.

Sehingga, menurutnya, pendekatan peradilan di Indonesia sudah saatnya diimbangi dengan pendekatan etika dan pendidikan publik.

"Mudah-mudahan ini jadi pegangan bagi kita generasi penerus untuk pegangan kehidupan kenegaraan agar jadi semakin baik ke depannya," ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Nasional
Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Nasional
Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Nasional
Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Nasional
DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

Nasional
Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Nasional
Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Nasional
BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Nasional
Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Nasional
Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Nasional
PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

Nasional
Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Nasional
Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Nasional
 Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com