Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jatam Sorot Jaminan Perpanjangan Izin Usaha Pertambangan dalam RUU Minerba

Kompas.com - 11/05/2020, 17:44 WIB
Tsarina Maharani,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional menyoroti sejumlah pasal dalam revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang dinilai sangat berpihak pada kepentingan elite korporasi.

Koordinator Jatam Merah Johansyah menyebutkan salah satu pasal yang dipersoalkan terkait jaminan perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan.

"Perpanjangan otomatis bagi pemegang izin PKP2B tanpa pengurangan luas wilayah dan lelang merupakan fasilitas yang ditunggu-tunggu oleh enam perusahaan raksasa batu bara," kata Johansyah kepada Kompas.com, Senin (11/5/2020).

Baca juga: RUU Cipta Kerja Terhambat, Pemerintah-DPR Dinilai Cari Celah Lewat RUU Minerba

Menurutnya, setidaknya ada enam perusahaan raksasa yang masa kontraknya habis pada tahun ini dan tahun depan.

Johansyah mengatakan jaminan perpanjangan izin ini sangat dinanti oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

"Mereka ini diduga masih ingin terus menikmati kemewahan luas lahan, kemegahan produksi energi maut batubara dan fasilitas lainnya saat masih berada dalam sirkuit aturan rezim kontrak," imbuhnya.

Mengenai jaminan perpanjangan izin operasi ini tertuang dalam RUU Minerba Pasal 169A.

Disebutkan, KK dan PKP2B diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian dengan beberapa syarat.

Pasal 169A huruf a berbunyi, "Kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama sepuluh tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan peneriman negara".

Pasal 169A huruf b menyebutkan, "Kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian untuk jangka waktu paling lama sepuluh tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara".

Selanjutnya, aturan mengenai perolehan IUPK tertuang dalam Pasal 169B.

Kemudian, ia menyoal penghapusan Pasal 165 dalam RUU Minerba.

Pasal 165 sebelumnya mengatur bahwa setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR atau IUPK yang bertentangan dengan UU Minerba dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama dua tahun penjara dan denda paling banyak dua ratus juta rupiah.

Berikutnya, Johansyah menyoroti konsep "wilayah hukum pertambangan" yang dimuat dalam RUU Minerba.

Baca juga: Anggota Komisi VII DPR Sebut RUU Minerba Wajib Segera Diselesaikan

Dalam RUU Minerba, wilayah hukum pertambangan didefinisikan sebagai seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen.

Menurut Johansyah, konsep ini akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran baik di darat maupun laut.

Ia mengatakan wilayah hukum pertambangan bertentangan dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

"Adanya definisi Wilayah Hukum Pertambangan yang akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran, bukan hanya di kawasan daratan, tetapi juga lautan yang bertentangan UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil," ucapnya.

Karena itu, ia menilai hampir keseluruhan RUU Minerba hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batuara.

Johansyah mengatakan revisi UU tidak menyinggung tentang dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat, dan perempuan.

"Penambahan, penghapusan dan pengubahan pasal hanya berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan, namun tidak secuil pun mengakomodasi kepentingan dari dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat dan perempuan," ujarnya.

Baca juga: Mayoritas Anggota Komisi VII DPR Setuju Pembahasan RUU Minerba Dilanjutkan

Menurutnya, pembahasan RUU Minerba tidak berdasarkan evaluasi atas daya rusak operasi pertambangan minerba yang selama ini terjadi.

Johansyah pun meminta Presiden Joko Widodo dan DPR membatalkan rencana pengesahan RUU Minerba.

"Atas nama undang-undang dasar yang menjamin keselamatan rakyat, Presiden Joko Widodo dan DPR RI harus membatalkan rencana pengesahan RUU Minerba di pembicaraan tingkat dua. DPR dan emerintah harus fokus menyelamatkan rakyat di tengah wabah virus corona yang mematikan," kata Johansyah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com