Ninik meminta pembahasan revisi UU KPK ini melibatkan diskusi banyak pihak dan tidak terburu-buru.
Baca juga: Surpres Revisi UU KPK Terbit, ICW Pertanyakan Komitmen Jokowi
Menurut dia, sesuai dengan pedoman penyusunan perundangan, pembahasan ini harus mempertimbangkan masukan dari masyarakat sipil dan berbagai pihak yang peduli dengan isu tersebut.
“Kalau melihat kebiasaannya, harusnya Surpres ini juga memasukkan KPK sebagai institusi yang terkena langsung dengan pembahasan revisi UU KPK. Harus hati-hati, jangan sampai ada cacat prosedur,” kata Ninik.
Di sisi lain, Ninik menilai semestinya revisi UU KPK didukung data yang kuat dan tidak gegabah.
Baca juga: DPR Terima Surpres Revisi UU MD3, Jokowi Disebut Setuju Kursi MPR Jadi 10
Hal ini perlu diperhatikan guna menghindari adanya uji materi ketika revisi UU KPK itu nantinya ditetapkan.
"Karena, revisi ini menyangkut banyak aspek perubahan pada kewenangan KPK, hendaknya ada data dukung yang kuat, plus dan minus dengan kewenangan yang ada selama ini, tidak gegabah mengubah saja," kata Ninik.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga menganggap presiden terlalu gegabah dengan mengeluarkan Supres tersebut.
Baca juga: Setujui Pembahasan Revisi UU KPK, Jokowi Sudah Kirim Surpres ke DPR
Kalaupun dikeluarkan di penghujung periode DPR saat ini, semestinya pembahasan juga melibatkan KPK.
“Seharusnya memang begitu, seharusnya KPK dan stakeholder yang lain harus diikutkan juga,” kata Fickar kepada Kompas.com, Jumat (13/9/2019).
Sikap pemerintah yang terburu-buru ini, kata Fickar, justru menimbulkan kesan bahwa revisi UU KPK memang ditujukan untuk melemahkan KPK.
Apalagi tanpa didahului kajian komperhensif yang melibatkan KPK dan pakar serta aktivis yang concern pada pemberantasan korupsi.
“Pembahasan ini terkesan terburu-buru, karena itu tidak keliru jika ada anggapan usulan perubahan ini dilakukan dengan niat negatif,” kata Fickar.