Sementara itu, dalam kasus ini Andi menilai bahwa Baiq dalam posisi terdakwa, atau bukan korban.
"Dalam peraturan MA yang dimaksud dengan perempuan berhadapan dengan hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi, atau perempuan sebagai pihak," ujar dia.
"Nah, di dalam perkara yang kita sebutkan tadi, ini berproses yang sampai PK ditolak itu, terdakwa disini (Baiq Nuril) perempuan sebagai terdakwa bukan sebagai korban," kata dia.
Baca juga: Dinilai Malaadministrasi dalam Kasus Baiq Nuril, Jubir MA Bilang Itu Tak Berdasar
MA menilai banyak masyarakat yang keliru ketika menanggapi perkara Baiq Nuril yang peninjauan kembalinya telah diputus oleh MA.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah mengatakan, kekeliruan itu adalah kasus pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik dicampurkan dengan kasus pelecehan seksual.
Padahal, dua kasus tersebut dalam dua perkara yang berbeda.
"Ada beberapa kekeliruan yang viral, seperti tindak pidana ITE dan kasus pelecehan seksual yang dicampur aduk, itu adalah dua perkara berbeda yang harus dipisah,'' ujar Abdullah di Gedung MA, Jakarta, Senin (8/7/2019), dikutip dari Antara.
Abdullah menjelaskan, perkara yang diadili dan telah diputus inkrah oleh MA terkait dengan Undang-Undang ITE mengenai penyebaran konten berupa rekaman pembicaraan.
Baiq Nuril merupakan terdakwa dalam kasus pelanggaran UU ITE karena terbukti menyebarluaskan informasi yang dalam telepon selulernya terkait pihak lain dan dianggap merugikan.
''Mau diapakan rekaman itu, itulah tipu muslihatnya. Kenapa orang lain sampai tahu ada rekaman itu, itulah yang harus dipertanyakan karena berarti ada penyebaran informasi,'' kata Abdullah.
Baca juga: MA Sebut Ada Kekeliruan yang Viral dalam Perkara Baiq Nuril
MA tetap menghormati setiap langkah yang akan dilakukan Baiq Nuril dan tim hukumnya. Adapun, MA juga memberikan masukan amnesti yang ingin diajukan oleh Baiq ke Presiden Joko Widodo.
Andi Samsan Nganroh mengatakan, dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 Ayat 2, amnesti dan abolisi merupakan kewenangan presiden selaku kepala negara.
"Ayat 2 berbunyi, permohonan amnesti dan abolisi juga menjadi kewenangan presiden RI selaku kepala negara," kata Andi saat ditemui di Media Center Mahkamah Agung, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019).
Kendati demikian, menurut Andi, untuk memutuskan pemberian amnesti, Presiden sedianya lebih dulu mendengar pendapat dari DPR RI.
"Sebelum Presiden memutuskan apakah akan dikabulkan atau ditolak amnesti itu terlebih dulu mendengar atau memperhatikan dari pendapat atau pertimbangan dari DPR," ujar Andi.
Baca juga: MA: Jika Baiq Nuril Ajukan Amnesti, Presiden Perlu Dengar Pertimbangan DPR
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.