JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berpendapat bahwa agenda perlindungan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak terlaksana dengan baik selama empat tahun masa kepemimpinan Joko Widodo.
Salah satu indikator masih berlakunya Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. UU tersebut selama ini telah ditafsirkan oleh suatu kelompok untuk mendiskriminasi hak-hak individu atau kelompok lain.
"Agenda ini tidak terlaksana dengan baik karena ada UU yang dibiarkan berlaku yaitu UU penodaan agama. Dua hal yang diatur, kalau anda menafsirkan ajaran yang dianggap menyimpang anda bisa dipenjara. Atau jika anda dituduh menyebarkan permusuhan anda bisa dipenjara," ujar Usman saat berbicara dalam Aksi Kamisan, di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (18/10/2018).
Baca juga: 4 Tahun Jokowi Memimpin, Penegakan HAM Alami Kemunduran
Akibat dari adanya UU tersebut, lanjut Usman, muncul banyak kasus yang dinilai mendiskriminasi kelompok minoritas.
Ia mencontohkan kasus kekerasan yang kerap menimpa warga Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Berdasarkan catatan Komnas HAM tahun 2017, setidaknya Menurut Imdadun, setidaknya ada 5 provinsi dan sekitar 20 kabupaten yang menerbikan peraturan pelarangan kegiatan warga JAI.
Kasus lain yang menjadi sorotan adalah vonis bersalah terhadap tiga mantan petinggi organisasi Gerakan Fajar Nusantara ( Gafatar) yakni Mahful Muis Manurung, Ahmad Mussadeq dan Andri Cahya oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Selasa (7/3/2017).
Baca juga: MK Tolak Gugatan Jamaah Ahmadiyah tentang Pasal Penodaan Agama
Majelis Hakim menyatakan ketiganya bersalah melakukan tindak pidana penodaan terhadap suatu agama. Atas putusan tersebut, majelis hakim menjatuhkan hukuman lima tahun penjara tehadap Mahful dan Mussadeq. Sementara Andri dijatuhkan hukuman tiga tahun penjara.
Selain itu, Usman juga mencontohkan kasus Meiliana, seorang warga Tanjungbalai yang divonis 18 bulan penjara karena mengeluhkan pengeras suara azan.
Majelis hakim yang dipimpin Wahyu Prasetyo Wibowo menyatakan, Meiliana terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap suatu golongan di Indonesia terkait tas, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara, Selasa (21/8/2018).
"Dala kasus Ahmadiyah yang dipenjara, dalam kasus Gafatar, dalam kasus Meiliana, itu adalah orang-orang yang tidak sedang menyebarkan permusuhan. Tapi orang-orang yang sedang meyakini apa yang dipikirkannya sebagai kebenaran," kata Usman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.