JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah lebih cenderung mendorong penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu tanpa melalui jalur hukum.
Alternatif penyelesaian non-yudisial itu dinilai cara yang terbaik agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
Direktur Diseminasi dan Penguatan HAM Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Bambang Iriana Djajaatmadja mengatakan, cara non-yudisial dinilai bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat.
"Dalam prinsip penyelesaian HAM ada istilah to forgive and to forget. Walaupun sudah ketahuan siapa pelakunya, dihindari jangan sampai malah timbulkan persoalan baru," kata Bambang saat menjadi narasumber dalam diskusi di Menteng, Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Baca juga: Masalah Pelanggaran HAM Dinilai Layak Jadi Isu Politik
Sebagai contoh, menurut Bambang, ada korban peristiwa 1965 yang tidak mengharapkan pembalasan terhadap pelaku.
Korban hanya berharap hak-hak bagi mereka diberikan dan pelaku cukup dibuktikan.
"Jangan sampai timbulkan persoalan baru seperti melalui mekanisme yuridis atau ada pembalasan berikutnya. Nanti tidak akan ada habisnya," kata Bambang.
Baca juga: Jaksa Agung: Penolak DKN Apa Mewakili Seluruh Korban Pelanggaran HAM?
Meski demikian, menurut Bambang, bukan berarti mekanisme non-yudisial sama sekali menghilangkan peran pengadilan.
Menurut dia, pengadilan bisa saja dilibatkan hanya sebatas untuk menegaskan bahwa kasus tersebut sudah selesai.
Menurut Bambang, pengadilan bisa membuat penetapan bahwa kasus tersebut telah diselesaikan, sehingga tidak ada penuntutan di kemudian hari.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.