2. Info Intelijen Harus Diverifikasi
Wakil Ketua Pansus RUU Antiterorisme Supiadin Aries Saputra menilai, informasi intelijen dapat dijadikan bukti permulaan bagi Polri untuk menangkap dan menangkap seorang terduga teroris.
Penangkapan dan penahanan tersebut dilakukan untuk kepentingan penyidikan.
Baca juga: Fahri Hamzah Sampaikan ke Istana soal Bahaya Penggunaan Data Intelijen sebagai Bukti Hukum
Namun, Busyro mengingatkan bahwa informasi intelijen harus mendapat verifikasi lebih dulu dari Ketua Pengadilan Negeri sebelum dijadikan alat bukti dalam menangkap seorang terduga teroris.
Hal itu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidama Terorisme (UU Antiterorisme).
"Pelibatan intelijen dalam penanggulangan tindak pidana terorisme harus dilakukan dengan hati-hati," kata Busyro.
Baca juga: Infomasi Intelijen Bisa Digunakan Polri untuk Tangkap Terduga Teroris
Meski demikian, Busyro meminta ketentuan tersebut dipertimbangkan dalam proses pembahasan revisi UU Antiterorisme.
Pasalnya, kata Busyro, ketentuan informasi intelijen dapat dijadikan alat bukti telah menyalahi aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Oleh sebab itu, ia menilai informasi intelijen juga harus dilengkapi dengan bukti yuridis yang memiliki persyaratan lebih ketat dibandingkan bukti intelijen.
"Bukti intelijen meskipun telah diverifikasi oleh Ketua Pengadilan Negeri masih memerlukan bukti yuridis," kata Busyro.
Baca juga: Busyro: Info Intelijen Harus Diverifikasi Sebelum Jadi Alat Bukti Kasus Terorisme
Pasal 28 draf RUU Antiterorisme per 18 April 2018 menyatakan, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk waktu paling lama 14 hari.
Jika merasa tidak cukup, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan kepada Kejaksaan Agung paling lama tujuh hari.
Selain itu pasal tersebut juga menegaskan, pelaksanaan penangkapan dan penahanan tersangka tindak pidana terorisme harus dilakukan dengan menjunjung prinsip-prinsip hak asasi manusia.
3. BNPT Diubah Jadi Komisi Nasional Penanggulangan Terorisme
Busyro menilai bahwa pemerintah perlu mengatur secara utuh terkait keberadaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait tugas dan fungsi dalam RUU Antiterorisme.
Baca juga: PP Muhammadiyah Usulkan BNPT Restrukturisasi Menjadi Komisi Nasional
Ia mengusulkan restrukturisasi atau perubahan kelembagaaan BNPT menjadi Komisi Nasional Penanggulangan Terorisme.
Menurut Busyro, dengan berbentuk komisi nasional pengisian jabatan komisioner dilakukan melalui mekanisme fit and proper test atau uji kepatutan dan kelayakan.
Jabatan tersebut, kata Busyro, nantinya dapat diisi dari berbagai unsur, seperti TNI, Polri, tokoh masyarakat, tokoh agama dan akademisi.
"Anggota komisi terdiri dari lima sampai dengan tujuh orang. Periode kerja komisioner adalah satu kali dan tidak dapat diperpanjang. Masa kerja komisioner lima tahun," tuturnya.
Baca juga: BNPT Klaim Program Deradikalisasi Berhasil 100 Persen
Menurut Busyro, Komisi Nasional Penanggulangan terorisme nantinya dapat melaksanakan fungsi koordinasi antar-kementerian atau lembaga terkait.
Dengan demikian, kewenangan penanganan terorisme tidak bersifat parsial dan berada dalam pengawasan.
"Dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia tidak boleh ada lembaga yang memiliki kewenangan yang absolut karena cenderung menggunakan kekuasaan secara eksesif dan berpotensi melanggar hak-hak warga," ucap mantan Ketua KPK itu.