Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beberapa Ketentuan Draf RUU Antiterorisme yang Jadi Sorotan PP Muhammadiyah

Kompas.com - 23/05/2018, 03:51 WIB
Kristian Erdianto,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyoroti beberapa ketentuan dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme).

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas menuturkan, pihaknya sangat mendukung upaya percepatan pengesahan RUU Antiterorisme.

Meski demikian ia menegaskan upaya pemberantasan terorisme harus tetap berada dalam koridor penegakan hukum (rule of law) dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

Pada Senin (21/5/2018) lalu, dia menyerahkan hasil kajian terkait RUU Antiterorisme kepada Ketua DPR Bambang Soesatyo.

Baca juga: Ketum PP Muhammadiyah: Ingat, Radikalisme Juga Ada di Politik

Dalam hasil kajian yang disiapkan sejak 2016 itu memuat sejumlah ketentuan dan rekomendasi PP Muhammadiyah.

 

1. Pelibatan TNI

Busyro meminta pemerintah dan DPR hati-hati dalam mengatur mekanisme pelibatan TNI terkait pemberantasan terorisme.

"Pelibatan TNI memerlukan kehati-hatian karena ketentuan dalam undang-undang, pemberantasan tindak pidana terorisme dimaksudkan dalam koridor penegakan hukum, yang tidak terlepas dari sistem peradilan pidana," ujar Busyro.

Baca juga: Perpres Pelibatan TNI untuk Berantas Terorisme Harus Sesuai UU TNI

Menurut Busyro pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme hanya dapat dilakukan dalam kondisi darurat dan menjadi pilihan terakhir.

Oleh sebab itu, pelibatan TNI harus melalui keputusan politik presiden bersama DPR.

Selain itu, lanjut Busyro, pelibatan TNI harus bersifat sementara. Artinya jika kondisi darurat berakhir maka keterlibatan TNI juga harus berakhir.

Baca juga: JK: Koordinasi TNI-Polri Atasi Terorisme Diperlukan agar Tak Terjadi Friksi

Anggota TNI yang terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme pun harus terikat dengan peradilan umum, apabila diduga melakukan pelanggaran hukum saat melakukan tugasnya.

"Ketentuan ini (pelibatan TNI) hanya memperkuat ketentuan yang telah ada dalam UU TNI," kata Busyro.

Draf RUU Antiterorisme per 18 April 2018 menyebut bahwa tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.

Baca juga: PKS: Pemerintah Blunder jika Aktifkan Koopsusgab TNI Tanpa Payung Hukum

Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) menyatakan bahwa TNI bisa dilibatkan dalam operasi militer selain perang.

Sementara pada Pasal 5 UU TNI, TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja.

 

2. Info Intelijen Harus Diverifikasi

Wakil Ketua Pansus RUU Antiterorisme Supiadin Aries Saputra menilai, informasi intelijen dapat dijadikan bukti permulaan bagi Polri untuk menangkap dan menangkap seorang terduga teroris.

Penangkapan dan penahanan tersebut dilakukan untuk kepentingan penyidikan.

Baca juga: Fahri Hamzah Sampaikan ke Istana soal Bahaya Penggunaan Data Intelijen sebagai Bukti Hukum

Namun, Busyro mengingatkan bahwa informasi intelijen harus mendapat verifikasi lebih dulu dari Ketua Pengadilan Negeri sebelum dijadikan alat bukti dalam menangkap seorang terduga teroris.

Hal itu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidama Terorisme (UU Antiterorisme).

"Pelibatan intelijen dalam penanggulangan tindak pidana terorisme harus dilakukan dengan hati-hati," kata Busyro.

Baca juga: Infomasi Intelijen Bisa Digunakan Polri untuk Tangkap Terduga Teroris

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/5/2018).KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/5/2018).

Meski demikian, Busyro meminta ketentuan tersebut dipertimbangkan dalam proses pembahasan revisi UU Antiterorisme.

Pasalnya, kata Busyro, ketentuan informasi intelijen dapat dijadikan alat bukti telah menyalahi aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Oleh sebab itu, ia menilai informasi intelijen juga harus dilengkapi dengan bukti yuridis yang memiliki persyaratan lebih ketat dibandingkan bukti intelijen.

"Bukti intelijen meskipun telah diverifikasi oleh Ketua Pengadilan Negeri masih memerlukan bukti yuridis," kata Busyro.

Baca juga: Busyro: Info Intelijen Harus Diverifikasi Sebelum Jadi Alat Bukti Kasus Terorisme

Pasal 28 draf RUU Antiterorisme per 18 April 2018 menyatakan, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk waktu paling lama 14 hari.

Jika merasa tidak cukup, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan kepada Kejaksaan Agung paling lama tujuh hari.

Selain itu pasal tersebut juga menegaskan, pelaksanaan penangkapan dan penahanan tersangka tindak pidana terorisme harus dilakukan dengan menjunjung prinsip-prinsip hak asasi manusia.

 

3. BNPT Diubah Jadi Komisi Nasional Penanggulangan Terorisme

Busyro menilai bahwa pemerintah perlu mengatur secara utuh terkait keberadaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait tugas dan fungsi dalam RUU Antiterorisme.

Baca juga: PP Muhammadiyah Usulkan BNPT Restrukturisasi Menjadi Komisi Nasional

Ia mengusulkan restrukturisasi atau perubahan kelembagaaan BNPT menjadi Komisi Nasional Penanggulangan Terorisme.

Menurut Busyro, dengan berbentuk komisi nasional pengisian jabatan komisioner dilakukan melalui mekanisme fit and proper test atau uji kepatutan dan kelayakan.

Jabatan tersebut, kata Busyro, nantinya dapat diisi dari berbagai unsur, seperti TNI, Polri, tokoh masyarakat, tokoh agama dan akademisi.

"Anggota komisi terdiri dari lima sampai dengan tujuh orang. Periode kerja komisioner adalah satu kali dan tidak dapat diperpanjang. Masa kerja komisioner lima tahun," tuturnya.

Baca juga: BNPT Klaim Program Deradikalisasi Berhasil 100 Persen

Menurut Busyro, Komisi Nasional Penanggulangan terorisme nantinya dapat melaksanakan fungsi koordinasi antar-kementerian atau lembaga terkait.

Dengan demikian, kewenangan penanganan terorisme tidak bersifat parsial dan berada dalam pengawasan.

"Dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia tidak boleh ada lembaga yang memiliki kewenangan yang absolut karena cenderung menggunakan kekuasaan secara eksesif dan berpotensi melanggar hak-hak warga," ucap mantan Ketua KPK itu.

 

4. Bentuk Lembaga Pengawas Penanggulangan Terorisme

Selain itu, Busyro juga meminta DPR dan pemerintah membentuk lembaga pengawas penanggulangan terorisme.

Lembaga tersebut, menurut Busyro, dapat melibatkan unsur tokoh masyarakat, akademisi, organisasi kemasyarakatan dan mantan petinggi Polri serta TNI.

Baca juga: Pemerintah dan DPR Diminta Bentuk Lembaga Pengawas Penanggulangan Terorisme

Tim elite TNI-Polri di Jakarta Theatre, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016).Kahfi Dirga Cahya Tim elite TNI-Polri di Jakarta Theatre, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016).

Hal itu diperlukan untuk menjaga proses penegakan hukum berjalan sesusi dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

Lembaga pengawas ini, lanjut Busyro, bertugas melakukan monitoring, evaluasi, penyelidikan, pengaduan dan memberikan rekomendasi terkait pelaksanaan tindak pidana terorisme.

Oleh sebab itu ia mengusulkan lembaga pengawasan tersebut diisi oleh para tokoh yang memiliki perhatian terhadap penegakan hukum dan HAM.

Baca juga: Ini Rencana Skema Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme

"Lembaga pengawasan ini beranggotakan perwakilan masyarakat yang konsen terhadap perlindungan HAM khususnya dalam penegakan hukum," ucapnya.

Busyro menegaskan bahwa pembentukan lembaga pengawas sangat erat kaitannya dengan audit yang mendalam, baik secara kelembagaan maupun keuangan terkait penanggulangan terorisme.

Selain itu, lembaga pengawas itu juga harus memastikan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme dilakukan dengan menghormati HAM.

Baca juga: Deteksi Dini Teroris, Polri Minta Wajib Lapor di Tingkat RT Diaktifkan

"Penanganan tindak pidana terorisme selama ini kurang memperhatikan due process of law, sehingga hak-hak pelaku kurang mendapat perhatian," kata Busyro.

 

5. Atur Sanksi Terkait Penggunaan Kekerasan oleh Aparat

Busyro berpendapat bahwa draf RUU Antiterorisme seharusnya mengatur secara tegas soal sanksi bagi aparat yang menggunakan kekerasan dalam menangani terduga teroris.

Meski dalam draf RUU Antiterorisme ada pasal yang mengatur pengenaan sanksi terhadap aparat penegak hukum, namun perumusannya dinilai tidak tegas. Sebab, pengaturan merujuk pada peraturan lain di luar RUU Antiterorisme.

"Seharusnya itu diatur dalam UU Antiterorisme," ujar Busyro.

Baca juga: RUU Antiterorisme Dinilai Perlu Atur Sanksi Terkait Kekerasan Aparat

Menurut Busyro, sejak UU Antiterorisme disahkan pada 2003, fenomena yang muncul justru terkait dugaan pelanggaran HAM oleh aparat terkait penanggulangan terorisme.

Ia merujuk pada catatan Komnas HAM yang menyebut tidak kurang dari 200 tersangka tindak pidana terorisme meninggal karena ditembak.

Sebagian besar tersangka belum menjalani proses persidangan dan pembuktian terkait perbuatan yang disangkakan.

Baca juga: Lapas Karanganyar di Nusakambangan Disiapkan Jadi Lapas Super Maximum Security

"Penangkapan-penangkapan terhadap terduga teroris banyak yang berakhir dengan meninggalnya terduga pelaku. Semuanya selalu dinyatakan melakukan perlawanan terhadap penegak hukum," kata Busyro.

Pada 2016 lalu, PP Muhammadiyah pernah mengadvokasi kasus Siyono. Siyono merupakan terduga teroris yang ditangkap satuan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror di Klaten.

Saat penangkapan, polisi menyebut ada pergulatan dengan petugas sehingga Siyono tewas. Hingga kini, kasus kematian Siyono belum jelas penyelesaiannya, baik secara etik maupun pidana.

Kompas TV Rangkaian teror bom yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia membuat desakan penyelesaian Undang-Undang Antiterorisme semakin menguat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com