4. Bentuk Lembaga Pengawas Penanggulangan Terorisme
Selain itu, Busyro juga meminta DPR dan pemerintah membentuk lembaga pengawas penanggulangan terorisme.
Lembaga tersebut, menurut Busyro, dapat melibatkan unsur tokoh masyarakat, akademisi, organisasi kemasyarakatan dan mantan petinggi Polri serta TNI.
Baca juga: Pemerintah dan DPR Diminta Bentuk Lembaga Pengawas Penanggulangan Terorisme
Hal itu diperlukan untuk menjaga proses penegakan hukum berjalan sesusi dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
Lembaga pengawas ini, lanjut Busyro, bertugas melakukan monitoring, evaluasi, penyelidikan, pengaduan dan memberikan rekomendasi terkait pelaksanaan tindak pidana terorisme.
Oleh sebab itu ia mengusulkan lembaga pengawasan tersebut diisi oleh para tokoh yang memiliki perhatian terhadap penegakan hukum dan HAM.
Baca juga: Ini Rencana Skema Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme
"Lembaga pengawasan ini beranggotakan perwakilan masyarakat yang konsen terhadap perlindungan HAM khususnya dalam penegakan hukum," ucapnya.
Busyro menegaskan bahwa pembentukan lembaga pengawas sangat erat kaitannya dengan audit yang mendalam, baik secara kelembagaan maupun keuangan terkait penanggulangan terorisme.
Selain itu, lembaga pengawas itu juga harus memastikan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme dilakukan dengan menghormati HAM.
Baca juga: Deteksi Dini Teroris, Polri Minta Wajib Lapor di Tingkat RT Diaktifkan
"Penanganan tindak pidana terorisme selama ini kurang memperhatikan due process of law, sehingga hak-hak pelaku kurang mendapat perhatian," kata Busyro.
5. Atur Sanksi Terkait Penggunaan Kekerasan oleh Aparat
Busyro berpendapat bahwa draf RUU Antiterorisme seharusnya mengatur secara tegas soal sanksi bagi aparat yang menggunakan kekerasan dalam menangani terduga teroris.
Meski dalam draf RUU Antiterorisme ada pasal yang mengatur pengenaan sanksi terhadap aparat penegak hukum, namun perumusannya dinilai tidak tegas. Sebab, pengaturan merujuk pada peraturan lain di luar RUU Antiterorisme.
"Seharusnya itu diatur dalam UU Antiterorisme," ujar Busyro.
Baca juga: RUU Antiterorisme Dinilai Perlu Atur Sanksi Terkait Kekerasan Aparat
Menurut Busyro, sejak UU Antiterorisme disahkan pada 2003, fenomena yang muncul justru terkait dugaan pelanggaran HAM oleh aparat terkait penanggulangan terorisme.
Ia merujuk pada catatan Komnas HAM yang menyebut tidak kurang dari 200 tersangka tindak pidana terorisme meninggal karena ditembak.
Sebagian besar tersangka belum menjalani proses persidangan dan pembuktian terkait perbuatan yang disangkakan.
Baca juga: Lapas Karanganyar di Nusakambangan Disiapkan Jadi Lapas Super Maximum Security
"Penangkapan-penangkapan terhadap terduga teroris banyak yang berakhir dengan meninggalnya terduga pelaku. Semuanya selalu dinyatakan melakukan perlawanan terhadap penegak hukum," kata Busyro.
Pada 2016 lalu, PP Muhammadiyah pernah mengadvokasi kasus Siyono. Siyono merupakan terduga teroris yang ditangkap satuan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror di Klaten.
Saat penangkapan, polisi menyebut ada pergulatan dengan petugas sehingga Siyono tewas. Hingga kini, kasus kematian Siyono belum jelas penyelesaiannya, baik secara etik maupun pidana.