JAKARTA, KOMPAS.com - Ombudsman Republik Indonesia melakukan investigasi mengenai keberadaan tenaga kerja asing (TKA) di tanah air.
Investigasi dilakukan pada bulan Juni-Desember 2017 di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Sumatera Utara dan Kepulauan Riau.
Hasilnya, Ombudsman menemukan ada ketidaksesuaian data TKA antara yang dimiliki pemerintah dan temuan di lapangan.
Ombudsman juga menemukan sejumlah kebijakan pemerintah justru memicu banjirnya TKA baik legal maupun ilegal ke Indonesia.
(Baca juga: Ombudsman: Arus TKA dari China Deras, Tiap Hari Masuk ke Indonesia)
Berikut temuan yang disampaikan Komisioner Ombudsman Laode Ida dalam jumpa pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Kamis (26/4/2018).
1. Paling Banyak dari China
Ombudsman menemukan, TKA yang paling banyak masuk ke Indonesia berasal dari China. Mereka bekerja di proyek investasi yang dibawa negeri tirai bambu tersebut ke Indonesia.
"Ada kondisi arus TKA khususnya dari Tiongkok deras sekali tiap hari masuk ke negara ini. Sebagian besar mereka unskilled labor," kata Laode.
Laode mengatakan, ada kecenderungan proyek-proyek dari China lebih senang mendatangkan warga mereka sendiri, walaupun dengan gaji lebih besar.
(Baca juga: Investigasi Ombudsman Temukan Banyak TKA jadi Buruh Kasar hingga Sopir)
Sementara, proyek investasi yang datang dari negara selain China cenderung tidak terlalu banyak mendatangkan tenaga kerja dari negara asal mereka.
"Jalur Cengkareng-Kendari saja, di pagi hari, arusnya 70-80 persen penumpang Lion Air dan Batik Air itu tenaga kerja asing," kata Laode.
2. Jadi Buruh Kasar hingga Sopir
Ombudsman menemukan banyak tenaga kerja asing yang justru menjadi buruh kasar.
Laode mengatakan, sudah menjadi standar di setiap proyek bahwa penggunaan topi berwarna kuning adalah untuk kuli atau buruh kasar.
Penggunaan topi merah digunakan supervisor, sementara manajer menggunakan topi hijau.
(Baca juga: Ombudsman: Serbuan TKA karena Kewajiban Berbahasa Indonesia Dihapus)
Kenyataannya, tim ombudsman banyak menemukan TKA yang menggunakan topi kuning, alias buruh kasar.
"Umumnya di lapangan harusnya kan untuk TKA paling banyak topi hijau dan merah, tapi 90 persen lebih topi kuning," kata dia.
Tak hanya itu, Ombudsman juga menemukan banyak TKA yang dipekerjakan sebagai sopir. Hal ini ditemukan di Morowali.
"Di Morowali sekitar 200 supir angkutan barang adalah TKA. Itu yang terjadi. Masa orang kita jadi sopir saja enggak bisa," kata dia.
Laode mengatakan, hal ini jelas menyalahi aturan yang menyebut bahwa TKA harus memiliki keahlian khusus dan menduduki level manajer keatas.
(Baca juga: Ombudsman: Gaji Pekerja Lokal Hanya Sepertiga Tenaga Kerja Asing)
Hal ini juga menunjukkan adanya ketidaksesuaian data ketenagakerjaan yang dimiliki pemerintah dengan fakta di lapangan.