JAKARTA, KOMPAS.com - Kelompok masyarakat sipil mendesak pemerintah segera menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pencantuman status penghayat kepercayaan dalam kartu identitas kependudukan (e-KTP).
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.
Dengan demikian warga penganut penghayat kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
"Karena MK sudah memutuskan dan menafsirkan berarti negara harus menjalankan apa yang diputuskan oleh MK. Artinya pemerintah harus segera memenuhi hak-hak sipil penghayat kepercayaan," ujar Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos saat dihubungi, Kamis (18/1/2018).
(Baca juga: Setara Institute: E-KTP Khusus Penghayat Kepercayaan Timbulkan Diskriminasi)
Menurut Bonar, pasca-putusan MK, pemerintah seharusnya cepat memutuskan ketentuan teknis pencantuman status penghayat kepercayaan.
Jika dibiarkan berlarut-larut, lanjut Bonar, maka pemerintah akan dipandang tidak sejalan dengan perintah konstitusi.
"Kalau pemerintah tidak bekerja sesuai dengan apa yang diputuskan MK ini kan bisa berarti pemerintahnya yang melakukan pelanggaran konstitusi. Ini berbahaya," tuturnya.
Selain pemenuhan hak sipil, implementasi putusan MK juga dinilai perlu sebagai penjaminan atas hak politik warga penghayat kepercayaan. Mengingat, sebentar lagi pemerintah akan menyelenggarakan Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.
"Pemerintah seakan-akan masih menunggu dan ini menjadi urgen karena sebentar lagi pilkada dan pilpres. jadi persoalan administrasi kependudukan ini harus segera selesai," kata Bonar.
Secara terpisah Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Basri Bermanda menegaskan bahwa pihaknya sepakat pelaksanaan pelayanan hak-hak sipil warga negara di dalam hukum dan pemerintahan tidak boleh ada perbedaan dan diskriminasi.
"MUI sepakat pelaksanaan pelayanan hak-hak sipil warga negara di dalam hukum dan pemerintahan tidak boleh ada perbedaan dan diskriminasi sepanjang hal tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," ujar Basri saat memberikan keterangan di kantor MUI, Jakarta Pusat, Rabu (17/1/2018).
(Baca juga: MUI: Pelayanan Hak Sipil terhadap Penghayat Kepercayaan Tak Boleh Berbeda)
Oleh sebab itu, lanjut Basri, pemerintah harus segera merealisasikan putusan MK terhadap warga penghayat kepercayaan.
Ia menegaskan, hak memiliki kartu identitas juga dimiliki oleh kelompok penghayat kepercayaan sebagai bagian dari warga negara Indonesia.
"Pembuatan KTP elektronik untuk penghayat kepercayaan tersebut hendaknya dapat segera direalisasikan untuk memenuhi hak warga negara yang masuk kategori penghayat kepercayaan," tuturnya.
"MUI menghormati perbedaan agama, keyakinan, dan kepercayaan setiap warga negara karena hal tersebut merupakan implementasi dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Basri.
Senada dengan MUI, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) juga meminta pemerintah segera memenuhi hak sipil warga penghayat kepercayaan.
"Kami dari PGI selama ini kan ikut memperjuangkan pemenuhan hak-hak sipil semua warga negara, apapun agama dan kepercayaannya," ujar Sekretaris Umum PGI Pendeta Gomar Gultom saat dihubungi, Rabu (17/1/2018).
"PGI sangat menyambut gembira putusan MK tentang pencantuman identitas kelompok penghayat kepercayaan atau penganut agama-agama lokal di Indonesia karena hanya dengan demikian semua orang diperlakukan sama haknya," ucapnya.
Gomar menegaskan, pasca-putusan MK, pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, harus segera membuat ketentuan teknis dalam mencantumkan status penghayat kepercayaan di e-KTP.
Mengingat ada sejumlah pihak yang mempersoalkan putusan MK tersebut.
Menurut Gomar, ketentuan pencantuman status penghayat kepercayaan dari Kemendagri penting untuk diterbitkan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam pemenuhan hak sipil.
"Teknisnya yang harus dipikirkan. Tapi bahwa prinsip negara harus melayani semua pencatatan sipil bagi seluruh warga negara itu sebuah keharusan," kata Gomar.
(Baca juga: Hapus Diskriminasi Penghayat Kepercayaan)
Terkait pencantuman kolom kepercayaan di e-KTP, MUI mengusulkan pencantuman kategori kepercayaan yang dianut tanpa menyertakan kolom atau kata agama.
Artinya, warga penghayat kepercayaan diberikan e-KTP khusus yang mencantumkan kolom kepercayaan dan bukan kolom agama.
"Pembuatan KTP elektronik untuk warga penghayat kepercayaan dengan kolom khusus adalah solusi terbaik bagi bangsa dan negara dalam rangka melaksanakan Putusan MK secara arif dan bijaksana," ucap Basri.
Menurut Basri, pembuatan KTP elektronik untuk warga penghayat kepercayaan dengan kolom khusus adalah solusi terbaik dalam melaksanakan putusan MK. Sebab, MUI memandang agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang berbeda.
Sementara, Sekjen MUI Anwar Abbas menampik anggapan bahwa usulan tersebut bersifat diskriminatif.
Ia menuturkan, adanya perbedaan antara isi KTP elektronik untuk umat beragama dengan penghayat kepercayaan bukanlah diskriminasi, melainkan bentuk perlakuan negara yang disesuaikan dengan ciri khas dan hak warga negara yang berbeda.
"Adanya perbedaan antara isi KTP elektronik untuk umat beragama dengan penghayat kepercayaan bukanlah pembedaan yang bersifat diskriminatif atau pengistimewaan, namun merupakan bentuk perlakuan negara yang disesuaikan dengan ciri khas dan hak warga negara yang berbeda," tuturnya.
"Warga penghayat kepercayaan punya hak sebagai warga negara untuk mencantumkan kolom kepercayaan dalam KTP elektroniknya sebagai identitas dirinya," kata Anwar.
(Baca juga: MUI Dorong Pemerintah Penuhi Hak Sipil Kelompok Penghayat Kepercayaan)
Meski demikian Setara Institute tak sepakat dengan usul MUI tersebut. Menurut Bonar, dengan adanya e-KTP khusus berarti akan ada pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara.
Hal itu berpotensi menimbulkan tindakan diskriminatif terhadap warga penghayat kepercayaan.
"Kami memang setuju penerintah harus segera memenuhi hak-hak sipil penghayat kepercayaan. Tapi kami menolak ide e-KTP khusus bagi warga penghayat kepercayaan," kata Bonar.
Bonar menjelaskan, dalam perspektif HAM tidak dibedakan antara agama (religion) dan kepercayaan (belief).
Artinya, antara agama dan kepercayaan harus diperlakukan secara sama.
"Bahkan dalam perspekif HAM, non-believers juga harus diperlakukan sama," kata Bonar.
Ia pun mengusulkan agar pemerintah membuat ketentuan sesuai putusan MK. Kolom agama dalam e-KTP tak perlu diubah dan status penghayat kepercayaan dicantumkan tanpa perlu merinci aliran yang dianut.
"Ya dicantumkan saja penghayat kepercayaan tanpa menyebut varian atau aliran kepercayaannya. kolom agama tidak usah diubah," ucap Bonar.
"E-KTP harus seragam, tidak boleh ada pembedaan bagi kelompok-kelompok tertentu. Bahkan menurut kami kolom agama ini tidak terlalu penting di kartu identitas," tuturnya.
(Baca juga: Setara Institute: Hak Sipil Warga Penghayat Kepercayaan Harus Segera Dipenuhi)
Perbedaan pandangan juga diungkapkan oleh Gomar. Menurut dia, pembedaan kartu identitas tersebut justru akan tetap menimbulkan diskriminasi, misalnya dalam hal pencatatan perkawinan.
"Kalau dibuat kolom khusus tidak masalah tapi itu juga nantinya menimbulkan perasaan diskriminatif. Kan persoalannya nanti interpretasi orang menjadi berbeda, ini (kepercayaan) bukan agama, berpotensi menimbulkan tindakan diskriminasi," ujarnya.
Gomar mencontohkan, dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan sah apabila telah dilakukan berdasarkan hukum agama masing-masing.
Jika status penghayat kepercayaan dalam e-KTP tidak diartikan sama atau setara dengan agama, maka tidak menutup kemungkinan pemerintah menolak pencatatan perkawinan warga penghayat.
Oleh sebab itu, PGI memandang sebaiknya tidak ada perbedaan e-KTP bagi warga penghayat kepercayaan.
"Mana yang lebih diterima oleh semua buat kami di PGI sama saja. Mau dibuat tetap kolom agama atau diganti kolom kepercayaan buat kami tidak ada masalah," kata Gomar.
"Tapi nanti orang akan melihat itu berbeda dengan agama, tindak lanjut penerapan UU perkawinan juga menjadi persoalan lagi. Negara tidak mau mencatat, di KTP beres tapi bermasalah di pencatatan sipil. Jadi jangan melihatnya dalam konteks e-KTP saja," ucapnya.