JAKARTA, KOMPAS.com — Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sepakat dengan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mendorong pemerintah segera memenuhi hak sipil warga penghayat kepercayaan setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam putusannya, MK menyatakan status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.
Dengan demikian, warga penganut penghayat kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
"Kami dari PGI selama ini kan ikut memperjuangkan pemenuhan hak-hak sipil semua warga negara, apa pun agama dan kepercayaannya," ujar Sekretaris Umum PGI Pendeta Gomar Gultom saat dihubungi, Rabu (17/1/2018).
"PGI sangat menyambut gembira putusan MK tentang pencantuman identitas kelompok penghayat kepercayaan atau penganut agama-agama lokal di Indonesia karena hanya dengan demikian semua orang diperlakukan sama haknya," ucapnya.
(Baca juga: MUI: Pelayanan Hak Sipil terhadap Penghayat Kepercayaan Tak Boleh Berbeda)
Gomar menegaskan, setelah putusan MK, pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, harus segera membuat ketentuan teknis dalam mencantumkan status penghayat kepercayaan di e-KTP.
Mengingat ada sejumlah pihak yang mempersoalkan putusan MK tersebut.
Menurut Gomar, ketentuan pencantuman status penghayat kepercayaan dari Kemendagri penting untuk diterbitkan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam pemenuhan hak sipil.
"Teknisnya yang harus dipikirkan. Namun, bahwa prinsip negara harus melayani semua pencatatan sipil bagi seluruh warga negara itu sebuah keharusan," kata Gomar.
Namun, PGI memiliki pandangan yang berbeda terkait usulan MUI soal e-KTP khusus bagi warga penghayat kepercayaan.
MUI mengusulkan kepada pemerintah agar di dalam e-KTP tersebut dicantumkan kolom kepercayaan tanpa ada kolom agama.
(Baca juga: MUI Usulkan E-KTP Khusus bagi Penghayat Kepercayaan)
Sementara untuk warga negara yang memeluk agama dan telah mempunyai e-KTP, tidak dilakukan perubahan atau penggantian e-KTP sama sekali.
Menurut Gultom, pembedaan kartu identitas tersebut justru akan tetap menimbulkan diskriminasi, misalnya dalam hal pencatatan perkawinan.
"Kalau dibuat kolom khusus tidak masalah, tetapi itu juga nantinya menimbulkan perasaan diskriminatif. Kan, persoalannya nanti interpretasi orang menjadi berbeda, ini (kepercayaan) bukan agama, berpotensi menimbulkan tindakan diskriminasi," ujarnya.
Gomar mencontohkan, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan sah apabila telah dilakukan berdasarkan hukum agama masing-masing.
Jika status penghayat kepercayaan dalam e-KTP tidak diartikan sama atau setara dengan agama, tidak menutup kemungkinan pemerintah menolak pencatatan perkawinan warga penghayat.
Oleh karena itu, PGI memandang sebaiknya tidak ada perbedaan e-KTP bagi warga penghayat kepercayaan.
"Mana yang lebih diterima oleh semua buat kami di PGI sama saja. Mau dibuat tetap kolom agama atau diganti kolom kepercayaan buat kami tidak ada masalah," kata Gomar.
"Tapi nanti orang akan melihat itu berbeda dengan agama, tindak lanjut penerapan UU Perkawinan juga menjadi persoalan lagi. Negara tidak mau mencatat, di KTP beres, tetapi bermasalah di pencatatan sipil. Jadi, jangan melihatnya dalam konteks e-KTP saja," ucapnya.