JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dan Komisi II DPR sepakat untuk meminta KPU menghapus ketentuan verifikasi faktual dalam menyaring partai peserta Pemilu 2019.
Kesepakatan pemerintah dan DPR ini berlawanan dengan putusan MK. Sebab, pemerintah dan DPR menilai, putusan MK hanya meminta semua parpol wajib melalui tahap verifikasi untuk ditetapkan sebagai peserta pemilu dan bukan verifikasi faktual.
Menanggapi hal itu, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono mengatakan, hasil Pilpres 2019 rentan digugat keabsahannya jika tahap verifikasi tak dilakukan sebagaimana diatur dalam konstitusi dan putusan MK.
Baca juga: KPU Tegaskan Partai Lama Belum Selesaikan Proses Verifikasi
Dengan demikian, tanpa tahapan verifikasi faktual maka hasil pemilu berpotensi diragukan konstitusionalitasnya.
"Iya (rentan digugat), ada agenda negara yang dilaksanakan tidak sesuai dengan konstitusi in casu putusan MK, tentu menjadi patut dipertanyakan konstitusionalitasnya. Itu sangat potensial," ujar Fajar saat dihubungi, Rabu (17/1/2018).
Menurut Fajar, putusan MK secara jelas menyatakan bahwa jika verifikasi tidak dilakukan secara adil, maka tidak sesuai dengan constitutional design.
Ia menilai, seluruh tahapan pemilu harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan dan putusan MK.
Baca juga: Mendagri Sebut Sipol KPU dan Verifikasi Faktual Sama Saja
Tahapan tersebut, lanjut Fajar, harus berlaku untuk semua partai peserta, baik parpol baru maupun partai yang telah memiliki kursi di parlemen.
"Yang penting ditekankan MK adalah verifikasi secara adil, terserah seperti apa, yang penting adil. Kalau dokumen ya dokumen semua. Kalau faktual ya faktual semua jangan dibedakan untuk semua parpol peserta pemilu," kata dia.
Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan uji materi pasal 173 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang berarti semua partai politik, termasuk 12 parpol peserta Pemilu 2014, harus mengikuti verifikasi faktual oleh KPU.