Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wapres JK: Pemeriksaan Novanto di KPK Tak Butuh Izin Presiden

Kompas.com - 07/11/2017, 14:34 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak perlu meminta izin Presiden Joko Widodo untuk memeriksa Anggota DPR.

Hal ini disampaikan Kalla menanggapi sikap Ketua DPR Setya Novanto yang tak mau memenuhi panggilan KPK sebelum KPK mendapat izin dari Presiden.

"Kalau KPK tidak butuh. Kalau polisi memang membutuhkan izin. Tapi kalau KPK ada UU tersendiri kan. Jadi tidak perlu izin Presiden," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (7/11/2017).

(Baca juga : Ini Isi Surat DPR untuk KPK Terkait Pemanggilan Novanto)

Kalla enggan berspekulasi apakah langkah Novanto yang berdalih KPK harus mendapat izin presiden tersebut merupakan upaya untuk mangkir dari proses hukum.

Kalla hanya meminta Novanto sebaiknya memenuhi panggilan yang dilayangkan KPK. Ia mengingatkan Ketua Umum Partai Golkar itu untuk taat hukum.

"Apapun sebagai negarawan sebagai pimpinan DPR harus taat oleh hukum yang dibuat DPR RI," kata Kalla.

"Semua orang apalagi ketua DPR harus taat hukum," tambahnya.

(Baca juga : Salah Kaprah Surat DPR Untuk KPK Terkait Pemanggilan Novanto)

Novanto sebelumnya menolak memenuhi panggilan pemeriksaan sebagai saksi terkait kasus e-KTP, Senin (6/11/2017).

DPR mengirimkan surat kepada KPK yang menyatakan bahwa pemanggilan Novanto perlu izin dari Presiden.

Adapun aturan mengenai pemanggilan anggota DPR tersebut pernah diuji ke Mahkamah Konstitusi.

(Baca juga : Jadikan UU MD3 Alasan Mangkir Panggilan KPK, Novanto Dinilai Lakukan Blunder)

Ketentuan itu tercantum pada pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang mengatur, "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan".

Pada surat dari DPR RI ditegaskan juga berdasarkan Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015 maka wajib hukumnya setiap penyidik yang akan memanggil anggota DPR RI harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden terlebih dahulu.

Namun, Pakar Tata Hukum Negara Refly Harun menilai Novanto telah melakukan blunder.

Sebab, dalam pada Pasal 245 ayat (3) huruf c disebutkan bahwa ketentuan pada ayat (1) tidak berlaku terhadap anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana khusus.

Novanto sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Namun, hakim praperadilan Cepi Iskandar memutuskan penetapan tersangka tersebut tidak sah.

Adapun KPK memastikan akan kembali menerbitkan surat perintah penyidikan untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka.

Hingga saat ini, KPK masih memeriksa para saksi terkait kasus Novanto.

Kompas TV Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi KTP elektronik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Nasional
Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Nasional
Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Nasional
Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Nasional
DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

Nasional
Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Nasional
Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Nasional
BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Nasional
Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Nasional
Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Nasional
PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

Nasional
Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Nasional
Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Nasional
 Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com