JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto enggan memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi karena pemanggilannya tidak seizin Presiden Joko Widodo.
Apakah Jokowi akan mengizinkan KPK untuk memanggil Novanto?
Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi Saptopribowo enggan menjawab pertanyaan tersebut.
Ia meminta wartawan bertanya kepada KPK mengenai penolakan Setya Novanto memenuhi panggilan tersebut.
"Itu tolong ditanya ke KPK bagaimana menyikapi itu. Itu adalah domainnya KPK," ujar Johan.
Baca: Ini Isi Surat DPR untuk KPK Terkait Pemanggilan Novanto
KPK sebelumnya memanggil Novanto untuk diperiksa sebagai saksi bagi Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, salah satu tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP, Senin (6/11/2017) pagi.
Namun, Novanto tak memenuhi panggilan tersebut.
Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI mengirim surat ke KPK bahwa pemanggilan Setya Novanto perlu seizin presiden.
Poin ketiga dalam surat, diuraikan ketentuan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang mengatur, "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan".
Kemudian diuraikan amar Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015, poin 1 dan 2 atau 2.1., 2.2 dan 2.3.
Selanjutnya, ditegaskan juga berdasarkan Putusan MK tersebut maka wajib hukumnya setiap penyidik yang akan memanggil anggota DPR RI harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden terlebih dahulu.
Namun, pakar hukum tata negara Refly Harun menilai, keharusan penegak hukum mendapat izin presiden untuk memeriksa anggota DPR tersebut tak berlaku pada tindak pidana khusus.
Hal ini diatur dalam pada Pasal 245 Ayat (3) huruf c UU MD3 yang tak diubah oleh MK. Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa ketentuan pada Pasal 245 Ayat (1) tidak berlaku terhadap anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana khusus.
"Korupsi adalah tindak pidana khusus bahkan dilabeli sebagai extraordinary crime. Jadi tidak ada alasan bagi Ketua DPR untuk mangkir dari pemeriksaan KPK," kata Refly di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/11/2017).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.