Selain itu, menurut Herry, populisme juga akan mengancam agenda pro-demokrasi yang sedang berjalan.
Agenda pro-demokrasi seperti pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi dan peningkatan kesejahteraan hanya bisa berjalan bila suatu negara bersifat inklusif tanpa adanya diskriminasi.
"Efek dari populisme menyebabkan agenda pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi dan kesejahtraan tidak berjalan karena agenda civic itu cirinya inklusif tanpa diskriminasi," tuturnya.
Mengatasi ketimpangan
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi meluasnya fenomena populisme?
Menurut Soeripto, pemerintah seharusnya mengambil kebijakan untuk mengatasi ketimpangan agar fenomena populisme tidak semakin meluas.
Kehadiran korporasi global yang dinilai "menjajah", kata Soeripto, harus dibatasi oleh pemerintah. Dia menilai korporasi global hanya akan membuat generasi muda Indonesia menjadi "budak" di negaranya sendiri.
"Kita kan tidak mau wilayah Indonesia hanya jadi bagian dari geopolitik negara-negara yang berperilaku ekspansionis," ucapnya.
Sementara itu Yudi Latif menuturkan, pemerintah harus bisa menciptakan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi kerakyatan.
Pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada kualitas dinilai mampu mempersempit kesenjangan sosial, mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.