JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pengamat dan akademisi mulai cemas dengan munculnya fenomena kesalahpahaman mengenai politik populisme di Indonesia.
Populisme merupakan istilah yang digunakan untuk paham yang mengutamakan kepentingan rakyat kecil, ketimbang kalangan elite.
Namun, isu ini kerap dimanfaatkan untuk memunculkan rasa nasionalisme dalam arti sempit, yang menolak semangat perubahan dan keterbukaan.
Fenomena itu sudah terjadi di Amerika Serikat dengan terpilihnya Donald Trump yang dalam janji kampanyenya menyiratkan sosok populis nan patriotis.
Kemudian, politik populisme di Inggris dinilai menjadi penyebab "British Exit", yang menyebabkan Inggris keluar dari Uni Eropa.
Sementara di Asia, muncul sosok Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Masyarakat merasa tidak puas dengan elite pemerintah dan mulai memercayai tokoh-tokoh yang cenderung konservatif.
Kesenjangan
Pengamat Intelijen Soeripto J Said mengatakan, rasa tidak puas di masyarakat disebabkan oleh kekecewaan publik (populer discontent) terhadap proses demokrasi saat ini yang justru menimbulkan ketimpangan, baik di sektor politik maupun ekonomi.
Soeripto menilai, gejala populisme muncul karena sumber daya alam dikuasai oleh korporasi, yang melakukan pendekatan kepada pusat pengambil keputusan yang terkait dengan kebijakan publik.
Ini menyebabkan kebijakan publik terkesan mementingkan pihak pemodal dan merugikan kepentingan nasional.
"Bahkan kebijakan publik itu dianggap penjajahan bentuk baru di bidang ekonomi. Maka berkembanglah rasa kekecewaan publik terhadap pemerintah dan gerakan protes," ujar Soeripto dalam diskusi "Menyikapi Perubahan, Kebangkitan Populisme" di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Minggu (15/1/2017).
Pada kesempatan yang sama pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, memandang bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak merata menjadi salah satu penyebab munculnya fenomena populisme di Indonesia.
Kesenjangan sosial memicu lahirnya kelompok-kelompok masyarakat yang kecewa dengan pemerintah dan beralih pada tokoh-tokoh populis.
Tokoh populis yang cenderung anti-demokrasi dan anti pluralisme itu dipercaya membawa ide-ide kemakmuran bagi rakyat.
Faisal mengatakan, saat ini pemerintah belum berhasil mengatasi kesenjangan ekonomi yang ada. Dia menyebut, 10 persen orang terkaya di indonesia menguasai 75,7 persen kekayaan nasional.
Kekayaan tersebut diperoleh karena faktor kedekatan dengan kekuasaan. Sementara di sisi lain pemerintah belum mampu meningkatkan kesejahteraan kelompok pekerja.
Menurut Faisal, pendapatan kelompok masyarakat pekerja cenderung menurun. Hal itu diperparah dengan bertambahnya jam kerja karena tekanan ekonomi.
"Mayoritas pendapatan petani, buruh tani dan buruh bangunan menurun. Karena tekanan ekonomi jam kerja pun jadi bertambah, rata-rata 49 jam per minggu. Kelompok pekerja di Indonesia masuk kategori pekerja keras nomor tiga setelah Hongkong dan Korea," ujar Faisal.
Faisal menuturkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, masih terdapat 28,01 juta jiwa yang hidup miskin. Kemiskinan yang paling parah berada di wilayah pedesaan.
Baik indeks kedalaman kemiskinan maupun keparahan kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir cenderung meningkat.
BPS mencatat, periode November 2014 hingga 2016 pendapatan rata-rata petani indonesia menurun 1,80 persen. Sedangkan pendapatan pekerja konstruksi turun 0,76 persen.
Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat sosial dan politik Yudi Latif. Menurut Yudi gejala demokratisasi yang terjadi sejak 1998 tidak diikuti dengan upaya kolektivisme.
"Gejala demokratisasi tidak diikuti dengan kolektivisme, maka keputusan berdasarkan mayoritas. Banyak persoalan tidak diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat," ujar Yudi.
Ketimpangan demokrasi tersebut, menurut Yudi, berimbas pada kesenjangan ekonomi yang dalam 10 tahun terakhir dinilai tidak banyak berubah. Rasio gini sebagai alat pengukur kesenjangan berkutat antara 0,39-0,43.
Yudi menuturkan, perekonomian indonesia saat ini hanya dikuasai oleh kelompok tertentu dan tidak mengarah pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
"Hanya 40 konglomerat yang menguasai seluruh perekonomian indonesia," kata Yudi.
(Baca juga: Kesenjangan Sosial dan Ekonomi Dinilai Memicu Populisme)
Mengancam demokrasi
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Herry Priyono, memandang fenomena populisme di Indonesia sengaja dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok politik maupun kelompok agama yang ingin berkuasa.
Jika terus dipelihara maka agenda populis tersebut akan berdampak negatif pada pluralitas dan kebhinekaan. Sebab, populisme yang disalahpahami itu cenderung berpikiran tertutup dan anti-keberagaman.
"Menurut saya harus ada penolakan terhadap populisme. Harus ada jaminan rasa aman bahwa hidup bersama di indonesia bisa dilakukan. Sekarang rasa cemas masyarakat semakin tinggi," ujar Herry.
Selain itu, menurut Herry, populisme juga akan mengancam agenda pro-demokrasi yang sedang berjalan.
Agenda pro-demokrasi seperti pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi dan peningkatan kesejahteraan hanya bisa berjalan bila suatu negara bersifat inklusif tanpa adanya diskriminasi.
"Efek dari populisme menyebabkan agenda pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi dan kesejahtraan tidak berjalan karena agenda civic itu cirinya inklusif tanpa diskriminasi," tuturnya.
Mengatasi ketimpangan
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi meluasnya fenomena populisme?
Menurut Soeripto, pemerintah seharusnya mengambil kebijakan untuk mengatasi ketimpangan agar fenomena populisme tidak semakin meluas.
Kehadiran korporasi global yang dinilai "menjajah", kata Soeripto, harus dibatasi oleh pemerintah. Dia menilai korporasi global hanya akan membuat generasi muda Indonesia menjadi "budak" di negaranya sendiri.
"Kita kan tidak mau wilayah Indonesia hanya jadi bagian dari geopolitik negara-negara yang berperilaku ekspansionis," ucapnya.
Sementara itu Yudi Latif menuturkan, pemerintah harus bisa menciptakan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi kerakyatan.
Pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada kualitas dinilai mampu mempersempit kesenjangan sosial, mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.