Kekayaan tersebut diperoleh karena faktor kedekatan dengan kekuasaan. Sementara di sisi lain pemerintah belum mampu meningkatkan kesejahteraan kelompok pekerja.
Menurut Faisal, pendapatan kelompok masyarakat pekerja cenderung menurun. Hal itu diperparah dengan bertambahnya jam kerja karena tekanan ekonomi.
"Mayoritas pendapatan petani, buruh tani dan buruh bangunan menurun. Karena tekanan ekonomi jam kerja pun jadi bertambah, rata-rata 49 jam per minggu. Kelompok pekerja di Indonesia masuk kategori pekerja keras nomor tiga setelah Hongkong dan Korea," ujar Faisal.
Faisal menuturkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, masih terdapat 28,01 juta jiwa yang hidup miskin. Kemiskinan yang paling parah berada di wilayah pedesaan.
Baik indeks kedalaman kemiskinan maupun keparahan kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir cenderung meningkat.
BPS mencatat, periode November 2014 hingga 2016 pendapatan rata-rata petani indonesia menurun 1,80 persen. Sedangkan pendapatan pekerja konstruksi turun 0,76 persen.
Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat sosial dan politik Yudi Latif. Menurut Yudi gejala demokratisasi yang terjadi sejak 1998 tidak diikuti dengan upaya kolektivisme.
"Gejala demokratisasi tidak diikuti dengan kolektivisme, maka keputusan berdasarkan mayoritas. Banyak persoalan tidak diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat," ujar Yudi.
Ketimpangan demokrasi tersebut, menurut Yudi, berimbas pada kesenjangan ekonomi yang dalam 10 tahun terakhir dinilai tidak banyak berubah. Rasio gini sebagai alat pengukur kesenjangan berkutat antara 0,39-0,43.
Yudi menuturkan, perekonomian indonesia saat ini hanya dikuasai oleh kelompok tertentu dan tidak mengarah pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
"Hanya 40 konglomerat yang menguasai seluruh perekonomian indonesia," kata Yudi.
(Baca juga: Kesenjangan Sosial dan Ekonomi Dinilai Memicu Populisme)
Mengancam demokrasi
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Herry Priyono, memandang fenomena populisme di Indonesia sengaja dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok politik maupun kelompok agama yang ingin berkuasa.
Jika terus dipelihara maka agenda populis tersebut akan berdampak negatif pada pluralitas dan kebhinekaan. Sebab, populisme yang disalahpahami itu cenderung berpikiran tertutup dan anti-keberagaman.
"Menurut saya harus ada penolakan terhadap populisme. Harus ada jaminan rasa aman bahwa hidup bersama di indonesia bisa dilakukan. Sekarang rasa cemas masyarakat semakin tinggi," ujar Herry.