JAKARTA, KOMPAS.com - Draf Rancangan revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dinilai oleh kalangan masyarakat sipil pegiat HAM telah menyampingkan hak-hak korban kasus terorisme yang seharusnya diatur dalam UU.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan bahwa rancangan UU Anti-teror yang ada saat ini belum membahas soal mekanisme penggantian kerugian yang dialami oleh korban dari tindakan terorisme.
"Tidak ada satu pasal pun dalam RUU anti-teror yang bicara tentang hak korban. Korban tidak diperhatikan. RUU tersebut hanya bicara soal bagaimana menangkap pelaku dalam hal penindakan," ujar Erasmus saat jumpa pers di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Jumat (29/4/2016).
Menurut Erasmus, operasi pemberantasan terorisme selama ini telah menyampingkan kerugian yang dialami, baik korban yang tidak terkait langsung dengan terorisme maupun korban salah tangkap.
(baca: Ketua Pansus: Revisi UU Anti-Terorisme Akan Berkaca Kasus Siyono)
Kerugian yang dialami korban tidak hanya soal materil, tetapi juga imateril, seperti trauma psikis dan stigma teroris terhadap korban salah tangkap.
"Penanganan korban tindak pidana terorisme selama ini tidak mendapat perhatian khusus," kata dia.
Ia menjelaskan, terkait soal kompensasi, dari banyaknya kasus terorisme yang diadili, hanya korban kasus JW Marriot yang mendapat amanat kompensasi. Sedangkan korban dalam kasus lain sama sekali tidak ada.
(baca: Kepala BNPT: Lapas Jadi Tempat Merencanakan Aksi Terorisme)
Mekanisme kompensasi pun harus melewati mekanisme pengadilan atau berdasarkan pada putusan pengadilan.
Sementara itu, aturan yang ada soal kompensasi dalam UU LPSK maupun UU Anti-teror tidak efektif. Seharusnya, kata Erasmus, pemberian kompensasi bagi korban disegerakan tanpa harus menunggu putusan pengadilan.
"Ini jelas merugikan korban. Konsep pemberian kompensasi tidak manusiawi karena harus menunggu putusan pengadilan. Semua pasal dalam RUU Anti-teror hanya menitikberatkan pada penindakan, tapi tidak pada hak korban," pungkasnya.