JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Tito Karnavian mengungkapkan bahwa lembaga pemasyarakatan saat ini sudah menjadi sarana bagi teroris untuk berkumpul dan merencanakan aksi terornya.
Hal tersebut disampaikan Titio saat rapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/4/2016).
"Lapas jadi tempat berkumpul dan merencanaan aksi terorisme, seperti halnya pelatihan paramiliter di Janto, Aceh pada 2010," kata Tito.
Tito menjelaskan, saat itu BNPT menangkap 70 orang terduga teroris. Mereka mengaku merencanakan aksinya dari Lapas Cipinang, Jakarta.
Lalu, peristiwa Bom Thamin pada Januari 2016, lanjut Tito, juga direncanakan dari dalam lapas. Dari sepuluh orang yang ditangkap, sebagian orang mengakui hal itu.
"(Sejumlah orang) di antara (para) tersangka mengatakan, perencanaan bom di Jalan Thamrin dilaksanakan di Lapas Nusakambangan," kata dia.
Kelompok Santoso di Poso merekrut kelompoknya dari dalam lapas. Hal ini juga diketahui berdasarkan pengakuan salah satu anggota kelompok yang sudah ditangkap.
Sebagian besar anggota yang ditangkap, kata Tito, memiliki banyak tato di bagian tubuh.
"Kelompok ini adalah eks-eks napi kasus curanmor, pencurian ringan lain-lain yang direkrut oleh Santoso dan lain-lain, sewaktu di lapas di Palu dan di Poso," ujar mantan Kapolda Metro Jaya ini.
Dengan kondisi ini, Tito berharap, manajemen di dalam lapas segera diperbaiki. Napi teroris, khususnya yang dianggap berpengaruh, harus ditempatkan di sel khusus dengan keamanan maksimal.
Mereka harus dibatasi untuk berkomunikasi dengan napi lain ataupun pihak luar yang berkunjung.
"Kalau mungkin, (napi berpengaruh ditempatkan) di pulau terpencil yang sulit dikunjungi," ujar dia.