Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Hujan" Kritik untuk Draf Revisi UU KPK Usulan DPR

Kompas.com - 03/02/2016, 08:52 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Empat poin perubahan draf revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang digulirkan DPR menuai kritik. 

Kritik itu juga dibarengi dengan penolakan, baik dari masyarakat sipil maupun internal KPK. 

Usulan tersebut di antaranya, pertama, pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK. Kedua, penyadapan yang dilakukan KPK harus seizin dewan pengawas.

(Baca: ICW: Belum Ada Kebutuhan Bentuk Dewan Pengawas KPK)

Ketiga, KPK tak diperbolehkan mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri. Dan keempat, KPK diberi wewenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan.

Staf Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch, Lalola Easter, menilai, agenda revisi UU KPK justru menunjukkan upaya memperlemah KPK.

Ia mempertanyakan belum adanya naskah akademik revisi UU KPK.

"Pertama yang harus ditanya, ada atau tidak naskah akademik revisi UU KPK? Karena naskah akademik itu sifatnya mandatory atau wajib. Sampai sejauh ini saya belum melihat ada naskah akademik. Jangan-jangan ini ada inisiatif entah dari siapa yang ingin melemahkan KPK," ujar Lalola saat ditemui di Kantor ICW, Selasa (2/2/2016).

(Baca: Ini Konsep Dewan Pengawas yang Diinginkan DPR)

Dewan pengawas tak mendesak

Selain itu, lanjut dia, belum ada kebutuhan mendesak untuk membentuk dewan pengawas KPK.

Jika pembentukan dewan pengawas dipaksakan, ICW khawatir akan muncul persoalan baru yang menghambat kerja KPK.

"Seharusnya tidak perlu membentuk dewan pengawas, tetapi dengan memperkuat kedudukan dari dewan penasehat yang ada sekarang. Pemerintah bisa saja membuat peraturan untuk memperkuat dewan penasehat dalam konteks penguatan kelembagaan KPK," ujarnya.

Pembentukan dewan pengawas juga dinilai tidak relevan karena saat ini KPK sudah diawasi banyak pihak.

Selama ini, KPK diawasi oleh Bagian Pengawasan internal dan Penasehat KPK, Komite Etik KPK maupun dari eksternal yaitu DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Penyadapan

ICW juga menilai, aturan bahwa penyadapan oleh KPK harus seizin dewan pengawas akan memperlambat kerja pemberantasan korupsi.

"Soal kontrol terkait fungsi penyadapan kan masih panjang perdebatannya. Kami khawatir apabila perlu minta izin penyadapan justru prosesnya menjadi panjang. Terduga malah nanti akan tahu kalau disadap," ujar Lalola Easter.

(Baca: DPR Perketat Penyadapan KPK, Nanti Harus Seizin Dewan Pengawas)

Syarat izin dewan pengawas untuk melakukan penyadapan juga berpotensi menunculkan intervensi pemerintah dalam penegakan hukum.

Hal senada juga diutarakan oleh Peneliti hukum ICW Aradila Caesar. Izin penyadapan akan mempersulit kerja KPK.

"Implikasinya nanti akan rumit, misal yang mau disadap adalah presiden sendiri atau salah satu anggota dewan pengawas. Bagaimana nanti KPK akan meminta izin?" Ujar Aradila.

Penyidik KPK

Kritik juga dilontarkan atas usulan tak diperbolehkannya KPK mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri.

"Sampai saat ini kita selalu mengandalkan penyidik dan penyelidik KPK yang independen. Kalau pasal ini lolos, saya khawatir posisi tersebut akan diisi oleh orang-orang yang tidak berkompeten," ujar Aradila.

Poin selanjutnya, mengenai pemberian kewenangan pada KPK untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan.

Menurut Aradila, hal itu tidak diperlukan mengingat sudah tersedianya mekanisme Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) oleh Kejaksaan.

"Untuk penghentian penyidikan sendiri kan sudah ada SKPP. KPK tinggal melimpahkan kasusnya saja ke Kejaksaan. Seharusnya KPK tidak perlu diberikan kewenangan menghentukan penyidikan," ujar Aradila.

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri menolak pemberian wewenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3.

Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengatakan bahwa wewenang itu bisa disalahgunakan oleh tersangka hingga oknum dalam KPK.

Hal serupa juga disampaikan oleh Laode Muhammad Syarif. Menurut dia, wewenang SP3 tak perlu diberikan karena KPK sangat hati-hati ketika menetapkan seorang tersangka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com