Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

MK Memanggil 4 Menteri

Kompas.com - 02/04/2024, 09:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MAHKAMAH Konstitusi (MK), bastion keadilan kita di negeri ini, telah melayangkan surat panggilan kepada empat menteri: Airlangga Hartarto (Menko Ekonomi), Muhadjir Effendy (Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Budaya), Sri Mulyani (Menteri Keuangan), dan Tri Rismaharini (Menteri Sosial).

Para menteri tersebut dipanggil untuk memberi kesaksian dalam perselisihan hasil pemilihan umum presiden/wakil presiden (Pilpres 2024). MK telah membuat terobosan dan memberi harapan. Harapan tentang tegaknya demokrasi yang diproses secara jujur dan adil.

Apa arti pemanggilan tersebut?

MK memberi sinyal bahwa lembaga tersebut, dalam menyelesaikan sengketa Pilpres 2024, tidak ingin sekadar berkutat pada angka statistik yang rigid dan menganut pola mayoritas versus minoritas.

MK ingin keluar dari pakem bilangan dan angka, semisal berapa jumlah TPS yang bermasalah, berapa saksi yang menyaksikan kertas suara dilubangi sebelum jam pencoblosan, dan sebagainya.

MK berkehendak dan bertekad bahwa keadilan itu tidak bisa diukur hanya dengan deretan-deretan hitungan. MK ingin mewujudkan substansi keadilan.

Saya pikir, MK kali ini, setelah diterpa topan hujatan lantaran tabiat Anwar Usman (mantan Ketua MK), ingin menegakkan dan mengutamakan prinsip moralitas, dibanding prinsip pembuktian yang menitikberatkan pada pembuktian statistik.

Wilayah edar moralias memang bukan pada penampakan fisik semata. Ia mengendap dalam sanubari.

Dengan pemanggilan keempat menteri ini, jelas bagi saya, MK ingin menelusuri keterkaitan pembagian bantuan sosial (bansos) dengan penyelenggaraan Pilpres 2024.

Maklum, narasi sosial tentang ketidakjujuran Pilpres 2024 yang berhembus kencang belakangan ini, banyak mengaitkannya dengan pembagian bansos. Malah, ada data bahwa 26 juta orang yang memilih pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming karena bansos belaka.

Sasaran keraguan publik adalah Presiden Jokowi yang diyakini memainkan bansos untuk memenangkan pasangan calon no urut 2 tersebut. Bahasa Inggrisnya adalah too obvious and too much.

Gibran adalah anak kandung Jokowi. Untuk proses pencalonan putranya itu, Jokowi menempuh pelbagai siasat politik. Maka, untuk memenangkannya pun, serta merta segala cara bisa dihalalkan. Ya, termasuk bagi-bagi bansos tadi.

Apakah secara hukum Jokowi salah dalam membagi bansos? Bukankah bansos itu adalah undang-undang yang disetujui oleh rakyat melalui perwakilannya di DPR RI?

Tidak ada yang salah selama itu dijalankan dengan benar. Keraguan publik tentang kejujuran Jokowi mengenai bansos itu, adalah momentum pembagiannya.

Mengapa pembagian itu secara masif dilakukan menjelang Pilpres 2024? Target dan sasarannya pun sangat krusial karena pembagiannya dilaksanakan dengan metode ala kadarnya, serampangan dan acak.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com