Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Henry MP Siahaan
Advokat, Peneliti, dan Dosen

Advokat, peneliti, dan dosen

Tragedi Penghapusan "Mandatory Spending" dalam UU Kesehatan yang Baru

Kompas.com - 13/08/2023, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MANDATORY spending adalah persentase anggaran yang harus dialokasikan untuk bidang kesehatan di suatu negara.

Kewajiban alokasi fiskal tersebut mengacu kepada pandangan bawah kesehatan adalah salah satu layanan dasar yang harus disediakan oleh negara untuk masyarakat umum, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah.

Biasanya nilai dan persentase alokasi fiskalnya tak bisa diubah begitu saja, tanpa proses legislatif yang memenuhi syarat minimal konstitusional.

Bahkan secara moral, proses tersebut harus menampung sebanyak-banyaknya aspirasi terlebih dahulu sebelum mengutak-atik atau menghilangkannya mengingat fundamentalnya urusan kesehatan tersebut bagi rakyat Indonesia.

Nah, hilangnya mandatory spending dalam UU Kesehatan yang baru, yaitu UU No 17/2023 mengandung arti bahwa tidak ada lagi batasan wajib yang harus dipenuhi pemerintah untuk alokasi dana kesehatan.

Tentu perubahan ini adalah kemunduran, karena di UU sebelumnya justru dijamin alokasi fiskal sebesar 5 persen dari APBN untuk sektor kesehatan.

Secara moral dan konstitusional, ketiadaan mandatory spending mencerminkan pengabaian yang telah dilakukan oleh pemerintah dan DPR atas perintah UUD 1945, yang mengamanatkan negara menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Artinya, UU Kesehatan yang baru hadir dengan arsitektur fiskal yang jauh lebih buruk dibanding UU sebelumnya.

Pasalnya, mandatory spending disebutkan secara jelas dalam UU sebelumnya No 36/2009, yang mengamanatkan pemerintah untuk mengalokasikan minimal 5 persen APBN dan minimal 10 persen APBD untuk bidang kesehatan di luar gaji.

Jadi dengan hilangnya mandatory spending, jangankan batasan minimal, kewajiban mengalokasikan sejumlah anggaran dari negara untuk sektor kesehatan ikut menguap.

Anggaran kesehatan akan bergantung kepada dinamika kepentingan yang melingkupi sektor kesehatan alias tidak ada kepastian.

Pemerintah bisa saja mengalokasikan hanya 1-2 persen dari dananya untuk kesehatan demi prioritas lainnya. Atau bisa hilang alias hanya kewajiban fiskal untuk pemenuhan kebutuhan operasional dan gaji saja, jika pemerintah menganggap sektor kesehatan sudah ditangani oleh pelaku swasta, di mana pasien dianggap sebagai konsumen yang harus membayar segala rupa layanan kesehatan.

Situasi ini tentu sangat berisiko pada pengabaian pembiayaan kesehatan publik untuk kelompok rentan yang berujung pada terhambatnya ketersediaan akses pelayanan yang memadai serta menurunnya kuantitas dan kualitas program kesehatan untuk masyarakat secara umum.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berargumen bahwa pencantuman mandatory spending dalam UU tak akan menghasilkan program maupun hasil berkualitas dan efektif. Pencantuman ini bahkan akan memaksa penggunaan dana untuk program yang tak rasional dan relevan.

Karena itu, anggaran mestinya didasarkan pada rencana induk kesehatan berbasis kerja, bukan mandatory spending.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com