Sangat jelas bahwa argumen Menkes tersebut tak selaras dengan pandangan institusi internasional di satu sisi dan praktik kesehatan terbaik (best practice) di beberapa negara.
Laporan WHO (2010) menyebutkan bahwa capaian cakupan universal kesehatan sulit dilakukan dengan anggaran kesehatan kurang dari 4-5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Hasil riset dari Chatham House, McIntyre, Meheus, dan Røttingen juga menegaskan hal yang sama. Hasil riset mereka menyatakan bahwa pemerintah perlu menargetkan minimal 5 persen dari PDB untuk anggaran kesehatan.
Pun, beberapa negara juga mencantumkan mandatory spending dalam UU mereka. UU di Korsel, Jepang, dan India masing-masing mencantumkan anggaran kesehatan minimal 5 persen, 6 persen, dan 7 persen dari total anggaran negara.
Jadi secara kasat mata, menurut hemat saya, pernyataan pembelaan dari Menkes atas penghapusan mandatory spending di dalam UU Kesehatan yang baru adalah pernyataan paling liberal yang pernah saya dengar dari pejabat negara sekelas menteri di Indonesia.
Amerika saja, salah satu negara paling liberal yang kita kenal, sebagaimana juga dirujuk oleh Menkes, tetap mengalokasikan sejumlah anggaran negara untuk spending di sektor kesehatan.
Perkara apakah belanjanya nanti tidak efektif atau kurang efesien, terjadi banyak masalah di dalam prosesnya, semua itu tugas beliau sebagai menteri untuk membenahi. Solusinya bukan menghilangkan mandatory spending.
Jika demikian, maka gampang sekali pekerjaan seorang Menkes. Misalnya, jika menemukan anggaran yang tidak efektif, bukannya dibenahi, malah dihapus begitu saja.
Mandatory spending untuk sektor kesehatan adalah gambaran atas tanggung jawab negara dalam sektor publik.
Sektor kesehatan setara dengan sektor pendidikan. Keduanya adalah masalah publik, di mana kehadiran negara secara fiskal harus dikunci secara tegas di dalam UU. Bentuk kuncian tanggung jawab itu adalah mandatory spending.
Dengan mandatory spending, siapapun penguasanya nanti, siapapun menteri kesehatannya, apapun ideologinya, kewajiban belanja kesehatan sekian persen dari APBN harus dipenuhi.
Artinya, tidak akan ada yang bisa memengaruhinya, siapapun menteri kesehatannya nanti. Karena itulah harus "mandatory" sifatnya.
Jika mandatory spending dihilangkan, diganti dengan anggaran berbasis program dan outcome, bagaimana kalau menteri yang baru tidak mengajukan program semacam itu, dengan alasan tak ada kewajiban mengalokasikan anggaran di UU, sehingga tidak wajib pula pemerintah mengeluarkan program berupa tanggung jawab negara atas sektor kesehatan, terutama untuk kelas menengah ke bawah?
Hal tersebut sangat berpeluang terjadi karena tidak ada "kuncian konstitusional" bagi seorang Menkes yang baru untuk mengajukan anggaran kesehatan.
Bagaimana kalau menteri selanjutnya menganggap negara tak punya kewajiban dalam alokasi anggaran kesehatan dalam jumlah tertentu, sehingga penggantinya dalam bentuk program-program juga tak diperlukan?