Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Henry MP Siahaan
Advokat, Peneliti, dan Dosen

Advokat, peneliti, dan dosen

Tragedi Penghapusan "Mandatory Spending" dalam UU Kesehatan yang Baru

Kompas.com - 13/08/2023, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sangat jelas bahwa argumen Menkes tersebut tak selaras dengan pandangan institusi internasional di satu sisi dan praktik kesehatan terbaik (best practice) di beberapa negara.

Laporan WHO (2010) menyebutkan bahwa capaian cakupan universal kesehatan sulit dilakukan dengan anggaran kesehatan kurang dari 4-5 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Hasil riset dari Chatham House, McIntyre, Meheus, dan Røttingen juga menegaskan hal yang sama. Hasil riset mereka menyatakan bahwa pemerintah perlu menargetkan minimal 5 persen dari PDB untuk anggaran kesehatan.

Pun, beberapa negara juga mencantumkan mandatory spending dalam UU mereka. UU di Korsel, Jepang, dan India masing-masing mencantumkan anggaran kesehatan minimal 5 persen, 6 persen, dan 7 persen dari total anggaran negara.

Jadi secara kasat mata, menurut hemat saya, pernyataan pembelaan dari Menkes atas penghapusan mandatory spending di dalam UU Kesehatan yang baru adalah pernyataan paling liberal yang pernah saya dengar dari pejabat negara sekelas menteri di Indonesia.

Amerika saja, salah satu negara paling liberal yang kita kenal, sebagaimana juga dirujuk oleh Menkes, tetap mengalokasikan sejumlah anggaran negara untuk spending di sektor kesehatan.

Perkara apakah belanjanya nanti tidak efektif atau kurang efesien, terjadi banyak masalah di dalam prosesnya, semua itu tugas beliau sebagai menteri untuk membenahi. Solusinya bukan menghilangkan mandatory spending.

Jika demikian, maka gampang sekali pekerjaan seorang Menkes. Misalnya, jika menemukan anggaran yang tidak efektif, bukannya dibenahi, malah dihapus begitu saja.

Mandatory spending untuk sektor kesehatan adalah gambaran atas tanggung jawab negara dalam sektor publik.

Sektor kesehatan setara dengan sektor pendidikan. Keduanya adalah masalah publik, di mana kehadiran negara secara fiskal harus dikunci secara tegas di dalam UU. Bentuk kuncian tanggung jawab itu adalah mandatory spending.

Dengan mandatory spending, siapapun penguasanya nanti, siapapun menteri kesehatannya, apapun ideologinya, kewajiban belanja kesehatan sekian persen dari APBN harus dipenuhi.

Artinya, tidak akan ada yang bisa memengaruhinya, siapapun menteri kesehatannya nanti. Karena itulah harus "mandatory" sifatnya.

Jika mandatory spending dihilangkan, diganti dengan anggaran berbasis program dan outcome, bagaimana kalau menteri yang baru tidak mengajukan program semacam itu, dengan alasan tak ada kewajiban mengalokasikan anggaran di UU, sehingga tidak wajib pula pemerintah mengeluarkan program berupa tanggung jawab negara atas sektor kesehatan, terutama untuk kelas menengah ke bawah?

Hal tersebut sangat berpeluang terjadi karena tidak ada "kuncian konstitusional" bagi seorang Menkes yang baru untuk mengajukan anggaran kesehatan.

Bagaimana kalau menteri selanjutnya menganggap negara tak punya kewajiban dalam alokasi anggaran kesehatan dalam jumlah tertentu, sehingga penggantinya dalam bentuk program-program juga tak diperlukan?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Nasional
Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com