Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RKUHP Berpotensi Berangus Kebebasan Sipil, LP3ES: Ciri Kemunduran Demokrasi

Kompas.com - 10/06/2021, 15:18 WIB
Rahel Narda Chaterine,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menilai, munculnya usulan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi bukti kemunduran demokrasi di Indonesia.

Pasalnya, draf yang muncul di publik tidak banyak berubah sejak batal disahkan di DPR pada September 2019. Sejumlah pasal kontroversial masih tetap ada kendati pernah dikritik masyarakat karena dianggap akan memberangus kebebasan sipil.

“Nah maka pertanyaannya, situasi sosial politik seperti apa yang melahirkan usulan RKUHP hari ini yang sebenarnya kemarin sudah kita tolak dengan serius itu?” kata Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto, dalam sebuah diskusi virtual, Kamis (10/6/2021).

“Jawaban singkatnya adalah situasi kemunduran demokrasi yang dicirikan salah satunya oleh pemberangusan kebebasan sipil,” tutur dia.

Baca juga: Pemerintah Segera Usulkan RKUHP Masuk Prolegnas Prioritas 2021

Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) atas draf RKUHP versi September 2019, terdapat sejumlah pasal yang berpotensi memberangus kebebasan sipil.

Misalnya, pasal mengenai tindak pidana penyerangan terhadap kehormatan atau harkat dan martabat presiden serta wakil presiden.

Dalam putusannya pada 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ketentuan ini sudah tidak relevan.

Sebab, pasal penghinaan presiden menegasikan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran, pendapat, kebebasan akan informasi dan prinsip kepastian hukum.

Kemudian, ketentuan pidana mengenai penghinaan terhadap pemerintah, kekuasaan umum dan lembaga negara.

Wijayanto berpandangan, pasal-pasal tersebut tidak hanya menjadi indikasi kemunduran demokrasi, melainkan juga arah pemerintahan yang otoritarian.

“Jadi tidak hanya kemunduran demokrasi yang serius, namun juga sudah mulai putar balik ke arah otoritarianisme, praktik otoritarian sudah mulai dilakukan. Itu yang menjelaskan kenapa RUU KUHP ini muncul kembali,” ucap dia.

Baca juga: Pro dan Kontra di DPR soal Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP

Di sisi lain, katad Wijayanto, pasal-pasal kontroversial tersebut sudah ada sejak zaman kolonialisme yang bertujuan untuk merepresi masyarkat dan pers saat itu.

“Jadi memprihatinkan, produk kolonial yang kemudian dipakai untuk mendisiplinkan, untuk menundukkan jajahannya, dipakai hari ini untuk suatu negara yang merdeka kepada warganya,” ujar Wijayanto.

Sebelumnya diberitakan, pemerintah akan segera mengusulkan RKUHP masuk daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021.

Menkumham Yasonna Laoly mengatakan, pemerintah telah menyosialisasikan RKUHP kepada masyarakat di 11 daerah.

Yasonna mengakui, ada pro-kontra yang timbul di masyarakat terkait draf RKUHP yang disosialisasikan oleh pemerintah. Namun, Yasonna menganggap itu merupakan hal biasa.

Baca juga: Kontras Nilai Penyusunan Draf RKUHP Tidak Transparan dan Mandek

Aliansi nasional reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyayangkan sosialisasi yang dilakukan Kemenkumham.

Perwakilan aliansi sekaligus Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, draf RKUHP yang disosialisasikan tak mengalami perubahan dari draf yang batal disahkan pada September 2019.

"Draf RKUHP yang disebarkan tersebut ternyata draf tanpa ada perubahan sama sekali dengan draf RKUHP yang ditolak masyarakat pada September 2019 lalu," ujar Isnur dalam keterangan tertulis, Selasa (8/6/2021).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com