JAKARTA, KOMPAS.com - Masuknya pasal penghinaan presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah memicu pro kontra karena pasal tersebut dianggap dapat membatasi kebebasan berpendapat.
Anggapan tersebut ditepis oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. Menurut Yasonna, pasal itu perlu dimasukkan dalam RKUHP agar kebebasan berpendapat tidak kebablasan.
"Kalau kebebasan itu yang sebebas-bebasnya, bukan kebebasan Pak, itu anarki Pak. Saya kira kita tidak harus sampai lah pada banyak (yang) mengkritik, demokrasi liberal, memang arah kita mau ke sana?" kata Yasonna dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Selasa (10/6/2021).
Yasonna menuturkan, perlu ada batasan dalam kebebasan berpendapat agar perilaku masyarakat tetap beradab.
Ia juga memastikan, pasal penghinaan presiden tidak akan mengurangi hak masyarakat untuk mengkritik kebijakan presiden dan pemerintah.
"Kritik kebijakannya, apanya, sehebat-hebatnya kritik, enggak apa-apa. Bila perlu, tidak puas, mekanisme konstitusional juga ada kok," ujar dia.
Baca juga: Wamenkumham Ungkap Tak Mudah Susun KUHP di Negara Multikultural Seperti Indonesia
Namun, aturan tersebut dibuat agar kritik atau pendapat yang disampaikan tidak bersifat menyerang harkat dan martabat seseorang, termasuk presiden.
"Saya selalu mengatakan, kalau saya dikritik 'Menkumham tak becus, lapas, imigrasi,' its fine with me, tapi kalau sekali menyerang harkat martabat saya, misalnya saya dikatakan anak haram jadah, itu di kampung saya enggak bisa itu," ujar Yasonna.
Yasonna menuturkan, pemerintah telah menyosialisasikan draf RKUHP hasil kesepakatan pemerintah dan DPR pada 2019 lalu ke 11 kota. Ia mengeklaim, sosialisasi itu mendapat respons positif dari masyarakat.
"Bahwa ada perbedaan pendapat itu adalah sesuatu hal yang lumrah, terutama terakhir ini ada satu hal yang hangat di media," kata Yasonna.
Pro dan Kontra
Adanya pasal penghinaan presiden itu pun menuai pro dan kontra di antara sejumlah anggota Komisi III DPR.
Politikus Partai Gerindra Habiburokhman mengusulkan agar pasal penghinaan presiden dijadikan aturan perdata.
Baca juga: Draf RKUHP yang Sarat Kritik dari Publik dan Mendadak Diajukan Pemerintah ke DPR
"Saya ini Pak, pegal juga selalu ditanyakan soal Pasal 218 itu, penghinaan presiden, saya sendiri dari dulu dari mahasiswa paling benci ini pasal. Saya rasa kalau saya ditanya, sebaiknya ini dialihkan ke ranah perdata saja," kata Habiburokhman.
Ia beralasan, penanganan kasus penghinaan presiden secara pidana akan terus menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat karena kasusnya ditangani oleh polisi dan jaksa.