JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menuturkan bahwa pasal aborsi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi mengkriminalisasikan korban perkosaan.
Pasal 470 ayat (1) mengatur, setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Namun, RKUHP tidak mengecualikan bila aborsi dilakukan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan.
Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden pada RKUHP Dianggap Bersifat Kolonial dan Tak Demokratis
"Logikanya aparat penegak hukum selalu korban perkosaan itu kalau sudah ada dulu statusnya, sudah ada dulu pidananya baru dia dapat dikatakan korban," ujar Erasmus saat dihubungi Kompas.com, Kamis (29/8/2019).
"Sedangkan kasus-kasus yang kita temukan di lapangan itu korban malah jadi pelaku aborsi padahal dia korban perkosaan," kata dia.
Di sisi lain, pasal aborsi dalam RKUHP bertentengan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Baca juga: 5 Masalah RKUHP, dari Penerapan Hukuman Mati hingga Warisan Kolonial
Dalam Pasal 75 UU Kesehatan, larangan aborsi dapat dikecualikan berdasarkan kedaruratan medis dan terhadap kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
"Pasal aborsi bertentangan dengan pasal 75 UU Kesehatan dan Fatwa MUI No 4 tahun 2005," kata Erasmus.
"Kasus BL di Jakarta dan WA di Jambi di mana korban perkosaan yang melakukan aborsi kemudian dikriminalisasi akan terus terjadi," tutur dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.