JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadwalkan pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam Rapat Paripurna pada akhir September mendatang. Menurut jadwal, Rapat Paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019).
Kendati demikian, draf terbaru RKUHP justru mendapat kritik dari organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai masih terdapat banyak ketentuan pasal yang bermasalah.
Lima substansi dari banyak pasal yang dianggap masih bermasalah yakni, penerapan hukuman mati, tindak pidana makar, pasal warisan kolonial, pidana terhadap proses peradilan dan living law.
Penerapan hukuman Mati
Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengkritik ketentuan penerapan hukuman mati yang masih diatur dalam RKUHP.
Baca juga: DPR Terbuka Soal Penghilangan Kata Penghinaan Agama dalam RUU KUHP
Menurut Erasmus, seharusnya pemerintah tidak lagi menerapkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk sanski pidana.
"Pada dasarnya kami menilai bahwa pidana mati seharusnya dihapuskan sesuai dengan perkembangan bahwa banyak negara lain sudah menghapuskan hukuman mati," ujar Erasmus kepada Kompas.com, Rabu (28/8/2019).
Pasal 98 draf terbaru RKUHP menyatakan, pidana mati dijatuhkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.
Baca juga: Rumusan Pasal Pidana Terhadap Agama dalam RUU KUHP Masih Dapat Berubah
Kemudian pasal 100 ayat (1) mengatur hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun.
Masa percobaan dapat diputuskan hakim jika terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki, peran terdakwa dalam tindak pidana tidak terlalu penting atau adanya alasan yang meringankan.
Erasmus pun mengkritik ketentuan tersebut. Menurut dia, pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati merupakan hak setiap orang yang dijatuhi vonis pidana mati.
Baca juga: Pasal Agama dalam RUU KUHP Berpotensi Melegitimasi Diskriminasi dan Intoleransi
Dengan demikian, pemberian masa percobaan tidak boleh bergantung pada putusan hakim.
"Masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati harus merupakan hak setiap orang yang diputus dengan pidana mati, tidak boleh bergantung pada putusan hakim," kata Erasmus.
Penerapan hukuman mati sebagai pidana alternatif juga memicu kritik dari kalangan aktivis HAM.
Mereka memandang, meskipun hukuman mati ditempatkan sebagai pidana yang bersifat khusus, namun esensinya tetap ada sebagai sebagai pidana pokok.
Baca juga: Pasal Agama dalam RUU KUHP Berpotensi Melegitimasi Diskriminasi dan Intoleransi
Ketentuan pidana mati dalam RKUHP dinilai bertentangan dengan sejumlah ketentuan HAM internasional. Indonesia sudah meratifikasi konvenan internasional tentang hak sipil dan politik.
Dalam konvenan tersebut dinyatakan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi.
Kemudian Indonesia meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.
Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden pada RKUHP Dianggap Bersifat Kolonial dan Tak Demokratis
Selain melanggar konvenan internasional, penerapan hukuman mati juga melanggar pasal 28 UUD 1946 dan UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 28A UUD 1945 menyebutkan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Makar