Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Nilai RKUHP Timbulkan Ketidakpastian Hukum

Kompas.com - 07/06/2018, 10:09 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai pasal-pasal korupsi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menciptakan ketidakpastian hukum dalam penanganan kasus korupsi.

Ia berharap pasal-pasal korupsi dan tindak pidana khusus lainnya tidak jadi bagian dari RKUHP.

Ia mencontohkan, dualisme RKUHP dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tak hanya membuat KPK mengalami kesulitan dalam menuntaskan perkara korupsi, melainkan juga Kepolisian dan Kejaksaan Agung.

"Ini juga yang harus diwaspadai oleh Polisi dan Kejaksaan yang menyidik kasus korupsi. Ada dua undang-undang yang berlaku dan ancaman pidananya berbeda. Akhirnya apa? Kita, polisi dan jaksa bingung pakai pasal mana. Tolong janganlah kita sengaja menciptakan ketidakpastian hukum," kata Laode dalam diskusi Implikasi Kodifikasi terhadap Kejahatan Luar Biasa dan Terorganisir dalam RKUHP di gedung KPK, Jakarta, Rabu (6/6/2018).

Baca juga: Soal Polemik RKUHP, Wiranto Akan Panggil KPK

Laode juga melihat jika sejumlah tindak pidana khusus dimasukkan dalam RKUHP, akan membuat agenda penuntasan perkara yang dibangun lembaga khusus seperti KPK, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Komnas HAM menjadi terganggu.

"Kami melihat dalam draf RKUHP banyak hal yang membuat kami agak kaget. Kalau dimasukkan akan masuk ke pola kerja lembaga, membuat bagaimana sebenarnya peran kita ke depan. Enggak dijelaskan dengan baik," ujar dia.

Ia menyarankan, seharusnya Pemerintah dan DPR merevisi UU Tipikor yang lebih akomodatif dan mampu menjawab tantangan perkembangan modus kejahatan korupsi. Laode menganggap keberadaan pasal korupsi dalam RKUHP menghilangkan sifat khusus tindak pidana korupsi.

"Pertama, menghilangkan kekhususan Tipikor. Saya masuk ke substansi, ancaman pidana cenderung kurang kalau denda pasal 2 Tipikor minimal Rp 200 juta maksimal Rp 1 miliar, pasal 3 minimal Rp 50 juta, maksimal Rp 1 miliar. RKUHP pasal 688 minimal Rp 10 juta maksimal Rp 100 juta," kata dia.

Baca juga: Ini Alasan Komisi III DPR Bersikeras Atur Pidana Korupsi di RKUHP

Menurut dia, ancaman pidana dan denda cenderung menurun drastis. Selain itu, pidana tambahan berupa uang pengganti tidak diatur secara jelas dalam RKUHP. Padahal, sumber terbesar pemulihan kerugian negara akibat korupsi berasal dari uang pengganti.

"Saya perlu tegaskan, sudah ada konferensi pers di Kemenkumham yang membahas pasal 729 RKUHP yang dikatakan bahwa kewenangan RKUHP berlaku ketentuan bab tentang tindak pidana khusus. Ini saya terus terang pusing," katanya.

Ia memaparkan hukum yang bersifat khusus (lex specialis) pada dasarnya mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Jika UU Tipikor berlaku, dan pasal korupsi di RKUHP juga berlaku, akan menimbulkan kekacauan tersendiri.

Baca juga: Ini Pasal dalam RKUHP yang Berpotensi Melemahkan Pemberantasan Korupsi

"Karena kalau tetap berlaku UU Tipikor tapi pasal 2 dan 3 ada di dalam KUHP mana yang berlaku. Biasanya sih kalau kita belajar hukum, yang khusus mengesampingkan yang umum. Logika pikirnya begitu," kata dia.

Laode mengkhawatirkan situasi lain, yaitu ketika asas hukum baru mengesampingkan hukum lama. Situasi itu dinilainya memperparah ketidakpastian bagi aparat hukum dan menyulitkan publik mencari keadilan yang proporsional.

"Saya pikir hal sama juga dialami oleh BNN maupun Komnas HAM. Sekali lagi, RKUHP yang ada kalah jadi diundangkan itu menimbulkan ketidakpastian hukum," ujarnya.

Kompas TV KPK menganggap RUU KUHP akan tumpang tindih dengan UU Tipikor dan dapat melemahkan pemberantasan korupsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com