JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengecam hasil putusan sidang etik terhadap sembilan anggota Polri yang terlibat dalam kasus bentrokan di Deiyai, Papua, pada 1 Agustus 2017 lalu.
Peristiwa tersebut menewaskan satu orang dan melukai 10 masyarakat sipil lainnya. Namun, aparat kepolisian yang didugai melakukan penembakan hanya diadili melalui sidang kode etik internal.
Menurut Usman, keputusan etik tersebut mencederai rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban, serta menegaskan kultur impunitas terhadap para anggota kepolisian yang diduga melakukan kesalahan prosedur dalam menjalankan perintah.
"Kasus perampasan hak hidup harus dibawa ke muka hukum dan dibuktikan lewat proses peradilan pidana, bukan lewat sidang kode etik internal," ujar Usman melalui keterangan tertulis, Senin (4/9/2017).
(Baca juga: Penembakan di Deiyai, Amnesty Minta Investigasi Penggunaan Senjata Api)
Lebih lanjut, Usman menegaskan bahwa penggunaan sidang kode etik untuk menghukum pelaku hanya menekankan kembali keengganan kepolisian untuk menerima suatu investigasi eksternal dan independen.
Oleh sebab itu, lanjut Usman, pihak berwenang di Indonesia harus meninjau kembali putusan yang diambil kepolisian Papua tersebut. Pemerintah juga diminta memulai dilakukannya suatu investigasi eksternal independen untuk mengusut penembakan tersebut hingga tuntas.
"Pihak berwenang di Indonesia harus meninjau kembali putusan yang diambil kepolisian Papua tersebut," kata Usman.
Selain itu Usman juga mengajak masyarakat Indonesia untuk bergabung dalam petisi #Justice4Deiyai di portal Change.org.
Hal itu, kata Usman, untuk menunjukkan kepada Pemerintah Indonesia bahwa masyarakat Indonesia mengawasi penyelesaian kasus penembakan warga sipil di Deiyai.
(Baca juga: Kontras: 44 Korban Terluka dan 3 Tewas karena Kekerasan Polisi di Papua)
Penembakan warga di Deiyai terjadi di depan halaman perusahaan pembangun jembatan di Desa Oneibo, Deiyai, Papua. Ketika itu warga meminta perusahaan untuk meminjamkan mobil untuk mengantar ke seorang warga yang kritis usai tenggelam.
Namun, permintaan tersebut ditolak oleh perusahaan. Alhasil, nyawa korban kritis tersebut akhirnya tak tertolong. Warga sekitar kemudian mendatangi perkemahan pembangunan jembatan dan merusak pos pekerja sebagai bentuk protes.
Anggota Brimob dan Polsek Tigi mendatangi lokasi dan disambut lemparan batu dari warga. Polisi kemudian melepaskan tembakan tanpa peringatan dan mengenai Yulianus Pigai, 27, bagian paha dan perutnya sebelum akhirnya meninggal.
Sekitar 10 orang lainnya juga mengalami luka tembak saat kerusuhan tersebut berlangsung dan dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.