JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Amnesty International perwakilan Indonesia Usman Hamid mendesak kepolisian segera melakukan investigasi atas dugaan penggunaan kekuatan yang mematikan dan senjata api dalam kasus penembakan warga di Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua pekan lalu, Selasa (1/8/2017).
Peristiwa tersebut menyebabkan salah satu warga korban penembakan, Yulius Pigai meninggal dunia.
Menurut Usman, investigasi tersebut bertujuan untuk membuktikan apakah penggunaan senjata api sudah sesuai dengan prosedur dan jenis peluru yang digunakan oleh aparat kepolisian.
"Temuan investigasi itu harus dipublikasikan dan mereka yang diduga bertanggung jawab secara komando atas pelanggaran pidana harus dibawa ke pengadilan," kata Usman di kantor Amnesty International Indonesia, Menteng, Jakarta, Selasa (8/8/2017).
"Hingga saat ini juga belum ada upaya otopsi untuk mengetahui secara jelas penyebab kematian," ujar dia.
Usman menjelaskan, dalam kondisi yang berbahaya dan kompleks di lapangan, polisi diizinkan menggunakan senjata api. Namun, penggunaan kekuatan harus sesuai dengan hukum, standar internasional dan tujuan penegakan hukum yang sah.
Aparat hukum, lanjut Usman, tidak boleh menggunakan senjata api kecuali sebagai upaya membela diri yang bisa menyebabkan cedera serius dan kematian.
Penggunaan kekuatan oleh aparat telah diatur oleh Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Selain itu, penggunaan kekuatan juga harus menjadi bagian dari perlindungan hak asasi manusia (HAM) sesuai Kode Perilaku Aparat Penegak Hukum PBB tahun 1979 dan Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum PBB tahun 1990.
"Dugaan penggunaan kekuatan yang semena-mena oleh aparat kepolisian atau aparat keamanan lain saat menjalankan tugas harus diinvestigasi secara menyeluruh melalui mekanisme yang independen dan imparsial," kata Usman.
Pada kesempatan yang sama, staf Divisi Pembela HAM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Arif Nur Fikri mengatakan, pengunaan senjata api seharusnya menjadi upaya terakhir aparat dalam situasi tertentu.
Selain itu, sifat penggunaan senjata api juga tidak boleh bermaksud untuk mematikan, melainkan hanya melumpuhkan.
"Senjata api merupakan upaya terakhir dan sifatnya juga melumpuhkan bukan mematikan," kata Arif.
(Baca juga: Massa Serang Kamp Proyek Jembatan di Tigi Papua, 4 Warga Ditembak Polisi)
Sebelumnya, Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Kamal mengatakan, insiden penembakan itu berawal dari aksi anarkistis yang dilakukan masyarakat terhadap karyawan serta merusak peralatan yang digunakan sebuah perusahaan yang sedang membangun jembatan.
Anggota Brimob disebutkan mengeluarkan tembakan untuk menghalau masyarakat yang menyerang dengan menggunakan panah dan batu.
Sebelum melakukan penyerangan, ada warga yang datang meminta tolong untuk mengantar warga yang sakit namun ditolak sehingga saat setibanya di rumah sakit yang bersangkutan meninggal.
"Akibatnya warga mengamuk dan menyerang karyawan serta merusak peralatan di kamp," kata Kamal.
(Baca juga: Penembakan di Tigi Papua Tewaskan Warga, 7 Orang Diperiksa)