JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Indonesia Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi mengatakan, hasil Undang-Undang Pilkada yang baru disahkan DPR kurang mewakili keinginan masyarakat, apalagi proses pembahasan berlangsung tertutup.
DPR dinilai tidak memberikan ruang untuk mendengarkan suara masyarakat dan konsituten.
"Harusnya revisi ini berangkat dari suara masyarakat dan konsituen dalam rangka perbaikan demokrasi Indonesia terlebih penyelenggaraan pilkada," kata Ahmad dalam konfrensi pers terkait catatan awal terhadap hasil revisi UU Pilkada, di Jakarta, Minggu (5/6/2016).
Ia mengatakan, proses pembahasan saat revisi UU Pilkada yang tertutup menunjukkan bahwa partai politik enggan untuk diawasi oleh masyarakat. Partai politik dianggap tidak menunjukkan komitmennya terhadap nilai-nilai demokrasi.
"Karena itu, secara substansi hasil UU yang dibahas tertutup tidak mencerminkan aspirasi masyarakat. Sama halnya dengan UU Pilkada," ujar dia.
Berkaitan pengaturan politik uang dan mekanisme kampanye dalam UU Pilkada, kata Ahmad, partai politik juga terlihat masih enggan diatur secara ketat.
Parpol disebut enggan berkonsultasi dalam membuat peraturan dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Sebenarnya DPR dan pemerintah belum siap ketok palu dalam UU Pilkada. Buktinya, mereka masih ingin menginterferensi KPU dan Bawaslu lewat peraturan teknis penyelenggaraan pemilu," kata dia.