JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta membebaskan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dari kewajiban membayar denda dan uang pengganti kerugian negara seperti yang dituntut tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam amar putusannya, hakim menilai tidak relevan lagi jika Akil diwajibkan membayar denda dan uang pengganti kerugian negara karena hukuman penjara yang dijatuhkan kepadanya sudah maksimal.
Akil divonis penjara selama seumur hidup karena dianggap terbukti menerima suap, gratifikasi, dan melakukan pencucian uang terkait dengan penanganan sengketa pemilhan kepala daerah.
"Mengenai tuntutan penuntut umum mengenai denda, majelis berpendapat denda tidak relevan lagi karena tuntutannya maksimal sehingga tidak dapat diganti dengan pidana badan apabila denda tidak bisa dibayarkan," kata hakim Suwidya dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (30/6/2014).
Hakim menjatuhkan vonis seumur hidup kepada Akil karena mempertimbangkan hal yang memberatkan Akil. Pertama, Akil melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dalam jabatannya sebagai ketua MK yang merupakan lembaga tinggi negara. MK, menurut hakim, merupakan benteng terakhir masyarakat dalam mencari keadilan.
"Selaku ketua lembaga tinggi, benteng terakhir masyarakat untuk mencari keadilan seharusnya terdakwa memberikan teladan yang baik," kata Suwidya.
Hal memberatkan yang kedua, menurut dia, perbuatan Akil telah meruntuhkan wibawa MK. Diperlukan usaha yang sulit dan memerlukan waktu lama untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada MK.
Menurut majelis hakim, Akil terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa pilkada dalam dakwaan kesatu, yaitu Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak, Banten (Rp 1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar).
Untuk Pilkada Kota Palembang, hakim menyatakan orang dekat Akil, Muhtar Ependy, terbukti menerima Rp 19,8 miliar dari Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya Masyito. Namun, majelis hakim tidak memperoleh kepastian mengenai total uang yang diterima Akil terkait Pilkada Kota Palembang itu.
Fakta persidangan hanya menunjukkan adanya uang Rp 3 miliar yang disetorkan ke rekening perusahaan istri Akil, CV Ratu Samagat. Sementara itu, hakim menyatakan Akil tidak terbukti menerima suap sebagaimana Pasal 12 huruf c Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi terkait sengketa Pilkada Lampung Selatan sebesar Rp 500 juta.
Menurut hakim, berdasarkan fakta persidangan, uang yang diterima Akil tersebut tidak bertujuan untuk memengaruhi putusan sengketa Pilkada Lampung Selatan. Ketua Majelis Hakim Suwidya menyatakan, perbuatan Akil menerima Rp 500 juta merupakan gratifikasi.
Kemudian, hakim menyatakan Akil terbukti menerima suap sebagaimana dakwaan kedua, yaitu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1 miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2,989 miliar), Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar), dan menerima janji pemberian terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur (Rp 10 miliar).
Akil juga terbukti dalam dakwaan ketiga, yaitu menerima Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011, Alex Hesegem. Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga. Selain itu, hakim menyatakan Akil terbukti menerima uang dari adik Gubernur Banten Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana, sebesar Rp 7,5 miliar sebagaimana dakwaan keempat.
Terkait dengan pencucian uang, hakim menilai dakwaan pencucian yang diajukan tim jaksa KPK dalam dakwaan kelima dan keenam terbukti. Seusai dengan dakwaan kelima, Akil dianggap terbukti melakukan pencucian uang pada kurun waktu 22 Oktober 2010 hingga 2 Oktober 2013 atau saat Akil telah menjadi hakim konstitusi.
Nilai dugaan pencucian uangnya mencapai Rp 161, 080 miliar. Sementara itu, menurut dakwaan keenam, Akil dianggap terbukti melakukan pencucian uang dalam kurun waktu 17 April 2002 hingga 21 Oktober 2010. Ketika itu, Akil masih menjabat anggota DPR hingga akhirnya menjabat hakim konstitusi. Nilai dugaan pencucian uangnya sekitar Rp 20 miliar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.