Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politisi PDI-P: Usulan KPK untuk Perberat Hukuman Koruptor dengan Biaya Sosial Patut Ditindaklanjuti

Kompas.com - 14/09/2016, 20:37 WIB
Rakhmat Nur Hakim

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu, menyatakan, usulan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambahkan biaya sosial bagi terpidana korupsi menarik untuk ditindaklanjuti.

Menurut dia, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah sepatutnya mengedepankan restorative justice, yakni model hukuman yang membuat pelaku sadar akan kesalahan yang dilakukan.

Masinton menilai, penambahan biaya sosial berupa kerugian yang dirasakan masyarakat akibat korupsi dan juga biaya penindakan kasus korupsi akan membuat terpidana korupsi merasakan betul beratnya hukuman yang ia terima.

"Tentu dengan semakin beratnya hukuman yang dirasakan, dia juga merasakan banyaknya kerugian yang dirasakan masyarakat akibat korupsi yang dia lakukan. Dengan begitu, dia akan berpikir ulang untuk melakukan korupsi lagi," kata Masinton di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/9/2016).

(Baca: Korupsi Politisi di Mata Artidjo Alkostar)

Masinton menambahkan, besarnya nominal hukuman denda dan biaya sosial yang harus dibayarkan oleh terpidana korupsi juga akan membuat orang jera melakukan korupsi.

"Jadi dengan adanya tambahan selain denda, yakni berupa biaya sosial, orang yang berencana korupsi juga akan berpikir kembali melihat besarnya uang denda dan biaya sosial yang harus dibayar. Ini patut ditindaklanjuti," lanjut Masinton.

Sebelumnya, dikutip harian Kompas, Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial.

Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.

Gagasan itu menjadi antitesis dari hukuman rata-rata koruptor yang makin ringan, yaitu dari 2 tahun 11 bulan pada tahun 2013 menjadi 2 tahun 1 bulan pada tahun 2016.

(Baca: Bebani Koruptor dengan Biaya Sosial)

Pada saat yang sama, sikap permisif terhadap bekas terpidana kasus korupsi juga makin kuat. Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab korupsi masih banyak terjadi di Indonesia. Perhitungan biaya sosial korupsi yang dikaji KPK terdiri atas biaya eksplisit dan biaya implisit.

Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi. Biaya itu antara lain meliputi biaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga pemasyarakatan. Adapun biaya implisit adalah biaya dari dampak yang timbul karena korupsi.

Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi dapat dituntut lebih tinggi daripada perhitungan kerugian negara yang selama ini dilakukan.

Dalam kajian KPK, peningkatan itu 4 kali hingga 543 kali lipat dibandingkan hukuman finansial yang diberikan pengadilan kepada para terpidana.

Biaya sosial korupsi ini dapat dilakukan dengan penerapan penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan anti-kerugian, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 98 KUHAP.

Kompas TV ICW: Dari 384 Kasus, 46 Terdakwa Divonis Bebas
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com