Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petisi Penolakan Remisi untuk Koruptor Capai Lebih dari 10.000 Dukungan

Kompas.com - 07/09/2016, 09:55 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana untuk melakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mendapat respons masyarakat.

Penolakan muncul, terutama terhadap revisi aturan yang dianggap mengobral remisi untuk koruptor.

Petisi online berjudul "Tolak Kebijakan Obral Remisi untuk Koruptor" pun muncul di laman www.change.org. Hingga pukul 09.42, petisi itu telah mendapat dukungan 10.841 tanda tangan.

Petisi tersebut langsung ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Pembuat petisi, Dewi Anggraeni Puspitasari menilai revisi PP itu akan menguntungkan koruptor.

Hal itu terjadi dengan penghilangan status justice collaborator (JC) pada koruptor untuk mendapatkan remisi.

"Pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-71, Gayus Tambunan mendapat hadiah berupa remisi atau pemotongan masa pidana sebanyak 6 bulan, sedangkan Nazaruddin dapat remisi sebanyak 5 bulan. Belum lagi dalam satu tahun para terpidana kasus korupsi (koruptor) bisa mendapat lebih dari satu kali remisi. Terbayang bukan, jika syarat pemberian remisi kepada koruptor lebih diperlonggar?" kata Dewi dalam petisinya.

Menurut Dewi terdapat beberapa alasan untuk menolak revisi PP. Pertama, adanya upaya pengaburan informasi dari pemerintah.

Sekitar akhir 2015, wacana revisi PP itu menyeruak. Akibat mendapat penolakan keras dari publik, rencana merevisi lalu tenggelam.

Namun, upaya merevisi PP 99 tidak berhenti. Sekitar Juli 2016, muncul draf revisi PP 99 dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Warga Binaan (RPP Warga Binaan).

(Baca: Jika Revisi PP Remisi, Komitmen Pemerintah dalam Berantas Korupsi Dipertanyakan)

Kedua, syarat remisi untuk napi kasus korupsi sangat longgar. Dewi menyebutkan, dalam pasal 32 ayat 1 dan 2 RPP Warga Binaan hanya mensyaratkan tiga hal untuk dapatkan remisi.

Syarat itu antara lain, telah menjalani sepertiga masa pidana, membayar lunas pidana dan tambahan uang pengganti, serta berkelakuan baik.

"Syarat keharusan memiliki status JC dihapus, pemberian remisi kepada napi korupsi menjadi lebih mudah diberikan," tulis Dewi.

Ketiga, kapasitas berlebih lapas bukan disebabkan oleh napi kasus korupsi. Berdasarkan data remisi dari Ditjen Permasyarakatan Kemenkumham, jumlah keseluruhan napi dan tahanan di lapas dan rutan per Juli 2016 di seluruh Indonesia adalah 197.670 orang.

Sedangkan napi kasus korupsi hanya berjumlah 3.894 orang atau hanya 1,96 persen dari total penghuni penjara dan tahanan.

(Baca juga: Napi Korupsi Hanya 1,92 Persen di Lapas, KPK Pertanyakan Alasan Pemerintah Revisi Syarat Remisi)

"Dengan alasan-alasan tersebut, jelas bahwa bahwa pelonggaran syarat remisi akan menguntungkan koruptor. Padahal koruptor telah lebih dahulu merugikan kita, warga negara Indonesia," ujar Dewi.

Kompas TV Wacana Permudah Syarat Remisi Koruptor Muncul
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Nasional
Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Nasional
Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com