JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial.
Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.
Gagasan itu menjadi antitesis dari hukuman rata-rata koruptor yang makin ringan, yaitu dari 2 tahun 11 bulan pada tahun 2013 menjadi 2 tahun 1 bulan pada tahun 2016.
Pada saat yang sama, sikap permisif terhadap bekas terpidana kasus korupsi juga makin kuat. Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab korupsi masih banyak terjadi di Indonesia.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Jakarta, Selasa (13/9), menuturkan, KPK pernah mengkaji penerapan upaya ”luar biasa” untuk menghukum koruptor dengan tidak hanya menghitung kerugian berwujud, begitu juga yang tak berwujud.
Dia mencontohkan, kerugian akibat jembatan yang roboh karena pembangunannya dikorupsi tidak hanya semata nilai uang yang dikorupsi, tetapi juga mencakup nilai pembangunan jembatan baru, termasuk kerugian ekonomi masyarakat karena jembatan itu tidak berfungsi.
Perhitungan biaya sosial korupsi yang dikaji KPK terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit.
Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi.
Biaya itu antara lain meliputi biaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga pemasyarakatan. Adapun biaya implisit adalah biaya dari dampak yang timbul karena korupsi.
Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi dapat dituntut lebih tinggi daripada perhitungan kerugian negara yang selama ini dilakukan.
Dalam kajian KPK, peningkatan itu besarnya 4 kali hingga 543 kali lipat dibandingkan hukuman finansial yang diberikan pengadilan kepada para terpidana.
Sebagai contoh adalah pengusutan kasus korupsi dalam kasus alih fungsi hutan lindung di Tanjung Api-api, Sumatera Selatan.
Berdasarkan hasil putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap pada tahun 2008-2010, total denda yang wajib dibayarkan oleh sembilan terpidana adalah Rp 1,7 miliar.
Namun, jika memakai kalkulasi biaya sosial korupsi, ”hukuman” finansial yang bisa dijatuhkan kepada sembilan terpidana itu mencapai Rp 923 miliar.
”Kami optimistis akan mencoba (biaya sosial korupsi) pada periode kami sekarang ini,” kata Laode yang masa jabatannya berlangsung hingga 2019.
Dalam kajian KPK, biaya sosial korupsi ini dapat dilakukan dengan penerapan penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan anti kerugian sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 98 KUHAP.