Sekolah baru itu tidak mempermasalahkan riwayat “hitam” trio VoB yang pernah di-DO.
“Mereka sekolahnya baru, butuh promosi. Kita saling membutuhkan,” ujar Marsya terbahak.
“Kita enggak tahu sih di tempat lain, tapi yang kita rasain di tempat asal kita itu busuk banget. Sebusuk itu,” ujar Marsya.
Setelah lulus, trio VoB menjadi lebih leluasa mengungkapkan unek-uneknya soal pahitnya dunia sekolah yang mereka alami.
Widi misalnya, mengungkapkan bagaimana salah seorang guru memberikan pemahaman yang begitu kaku dan seksis di dalam kelas.
Salah satu gurunya, seorang perempuan, pernah mengingatkan bahwa hakikatnya perempuan tidak boleh dipertontonkan atau menjadi perhatian banyak orang.
Karena itu, sebagai perempuan Widi dinilai tidak pantas naik ke atas panggung dan dilihat banyak penonton.
Baca juga: VOB Akui Pernah Alami Kekerasan Seksual
“Jadi aku tuh manggung-manggung kayak gitu enggak baik. Katanya, bukan hakikat seorang perempuan,” kenang Widi.
Namun, Widi melihat pernyataan itu bertentangan dengan gurunya sendiri.
“Kan dia diem di depan kelas kan ditonton sama murid ya,” ujarnya tertawa.
Menurut Marsya, guru di sekolahnya saat itu cenderung memaksakan siswa untuk mengikuti kehendak mereka.
Di sekolah, mereka tidak merasakan belajar dengan merdeka karena siswa-siswa cenderung diminta mengikuti kemauan gurunya.
Marsya dan teman-temannya pun merasakan bagaimana kelas yang hanya mereproduksi orang yang sama dari waktu ke waktu, sebagaimana diungkapkan kritikus pendidikan Amerika Latin, Paulo Freire.
Baca juga: Dilarang Orangtua Main Musik Metal, VOB Pernah Diminta Ikuti Jejak Lesti Kejora Bawakan Dangdut
“Jadi lebih ke tugas mereka itu cuma mencetak akhirnya. Jadi mencetak orang-orang yang sama seperti sebelumnya,” kata Marsya.
Tidak hanya itu, mereka juga merasakan bagaimana masa belajar di sekolah diajarkan untuk kompetitif.