Pertanyannya, apakah para pembentuk undang-undang telah mengakomodasi partisipasi publik yang bermakna pada masa Lame Duck saat ini?
Untuk menjawab hal tersebut kita dapat melihat pembahasan revisi UU MK yang dilaksanakan secara diam-diam dan tertutup.
Praktik tersebut tidak mencerminkan prinsip meaningful participation di mana publik seharusnya dapat mengetahui sejauh mana proses pembentukan undang-undang dan memberikan masukan sejak perencanaan hingga pengesahan.
Sementara yang terjadi DPR bersama pemerintah melaksanakan rapat pengambilan keputusan tingkat pertama terkait revisi UU MK secara tertutup.
Terhadap publik yang mengkritik hal tersebut, DPR justru merespons dengan arogansi “bagi pihak yang tidak setuju dengan RUU terkait silahkan mengujinya di Mahkamah Konstitusi”.
Alih-alih menempatkan publik sebagai mitra legislasi, karakter otoriter yang demikian tidak semestinya dikemukakan sebab menempatkan publik sebagai pihak yang berlawanan dengan pembentuk undang-undang.
Padahal publik seharusnya mendapatkan tempat sebagai partner yang seimbang mengingat revisi UU MK yang berpotensi disahkan nantinya berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap publik.
Secara materiil, revisi UU MK mengotak-atik jaminan masa jabatan hakim yang seharusnya tidak boleh diintervensi.
Sebagaimana terlihat pada Pasal 87 huruf a draf RUU MK yang mengatur bahwa hakim konstitusi yang telah menduduki jabatan selama lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun harus mendapatkan konfirmasi dari lembaga pengusul apabila akan melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun.
Ketentuan tersebut jelas merupakan penyanderaan terhadap hakim konstitusi yang dihantui oleh evaluasi.
Lebih jauh lagi praktik ini merupakan sinyal pelemahan negara hukum sebab mengancam independensi kekuasaan kehakiman.
Publik tidaklah alergi dengan revisi UU termasuk UU MK jika memang menjadi kebutuhan hukum dan sesuai dengan aspek formil dan materiil aturan main pembentukan undang-undang.
Selama ini pembentuk undang-undang lebih berfokus pada jabatan dan syarat usia hakim, padahal masih banyak kebutuhan yang diperlukan Mahkamah Konstitusi demi penguatan secara kelembagaan.
Di antaranya melengkapi hukum acara tentang pembubaran partai politik dan impeachment presiden dan/atau wakil presiden serta perlu menambahkan kewenangan Constitutional Complaint dan Constitutional Question sebagai bentuk komitmen terhadap jaminan konstitusional warga negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.