Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fahmi Ramadhan Firdaus
Dosen

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember | Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember

Buru-buru Revisi UU di Masa "Bebek Lumpuh"

Kompas.com - 19/06/2024, 05:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pertanyannya, apakah para pembentuk undang-undang telah mengakomodasi partisipasi publik yang bermakna pada masa Lame Duck saat ini?

Untuk menjawab hal tersebut kita dapat melihat pembahasan revisi UU MK yang dilaksanakan secara diam-diam dan tertutup.

Praktik tersebut tidak mencerminkan prinsip meaningful participation di mana publik seharusnya dapat mengetahui sejauh mana proses pembentukan undang-undang dan memberikan masukan sejak perencanaan hingga pengesahan.

Sementara yang terjadi DPR bersama pemerintah melaksanakan rapat pengambilan keputusan tingkat pertama terkait revisi UU MK secara tertutup.

Terhadap publik yang mengkritik hal tersebut, DPR justru merespons dengan arogansi “bagi pihak yang tidak setuju dengan RUU terkait silahkan mengujinya di Mahkamah Konstitusi”.

Alih-alih menempatkan publik sebagai mitra legislasi, karakter otoriter yang demikian tidak semestinya dikemukakan sebab menempatkan publik sebagai pihak yang berlawanan dengan pembentuk undang-undang.

Padahal publik seharusnya mendapatkan tempat sebagai partner yang seimbang mengingat revisi UU MK yang berpotensi disahkan nantinya berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap publik.

Secara materiil, revisi UU MK mengotak-atik jaminan masa jabatan hakim yang seharusnya tidak boleh diintervensi.

Sebagaimana terlihat pada Pasal 87 huruf a draf RUU MK yang mengatur bahwa hakim konstitusi yang telah menduduki jabatan selama lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun harus mendapatkan konfirmasi dari lembaga pengusul apabila akan melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun.

Ketentuan tersebut jelas merupakan penyanderaan terhadap hakim konstitusi yang dihantui oleh evaluasi.

Lebih jauh lagi praktik ini merupakan sinyal pelemahan negara hukum sebab mengancam independensi kekuasaan kehakiman.

Publik tidaklah alergi dengan revisi UU termasuk UU MK jika memang menjadi kebutuhan hukum dan sesuai dengan aspek formil dan materiil aturan main pembentukan undang-undang.

Selama ini pembentuk undang-undang lebih berfokus pada jabatan dan syarat usia hakim, padahal masih banyak kebutuhan yang diperlukan Mahkamah Konstitusi demi penguatan secara kelembagaan.

Di antaranya melengkapi hukum acara tentang pembubaran partai politik dan impeachment presiden dan/atau wakil presiden serta perlu menambahkan kewenangan Constitutional Complaint dan Constitutional Question sebagai bentuk komitmen terhadap jaminan konstitusional warga negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 2 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 2 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Anggota DPR: PDN Itu Seperti Brankas Berisi Emas dan Berlian, Obyek Vital

Anggota DPR: PDN Itu Seperti Brankas Berisi Emas dan Berlian, Obyek Vital

Nasional
Kuasa Hukum Sebut Staf Hasto Minta Perlindungan ke LPSK karena Merasa Dijebak KPK

Kuasa Hukum Sebut Staf Hasto Minta Perlindungan ke LPSK karena Merasa Dijebak KPK

Nasional
Kuasa Hukum Bantah Hasto Menghilang Setelah Diperiksa KPK

Kuasa Hukum Bantah Hasto Menghilang Setelah Diperiksa KPK

Nasional
Pejabat Pemerintah Dinilai Tak 'Gentle' Tanggung Jawab Setelah PDN Diretas

Pejabat Pemerintah Dinilai Tak "Gentle" Tanggung Jawab Setelah PDN Diretas

Nasional
Tutup Bulan Bung Karno, PDI-P Gelar 'Fun Run' hingga Konser di GBK Minggu Besok

Tutup Bulan Bung Karno, PDI-P Gelar "Fun Run" hingga Konser di GBK Minggu Besok

Nasional
Beri Sinyal Poros Ketiga di Pilkada Jakarta, PDI-P: Kami Poros Rakyat

Beri Sinyal Poros Ketiga di Pilkada Jakarta, PDI-P: Kami Poros Rakyat

Nasional
Kasus Ahli Waris Krama Yudha Jadi Momentum Reformasi Hukum Kepailitan dan PKPU di Indonesia

Kasus Ahli Waris Krama Yudha Jadi Momentum Reformasi Hukum Kepailitan dan PKPU di Indonesia

Nasional
Gaspol! Hari Ini: Di Balik Layar Pencalonan Anies Baswedan-Sohibul Iman

Gaspol! Hari Ini: Di Balik Layar Pencalonan Anies Baswedan-Sohibul Iman

Nasional
PAN Pertimbangkan Kaesang jika Ridwan Kamil Tak Maju di Pilkada DKI

PAN Pertimbangkan Kaesang jika Ridwan Kamil Tak Maju di Pilkada DKI

Nasional
PDI-P Buka Peluang Usung Anies Baswedan, tapi Tunggu Restu Megawati

PDI-P Buka Peluang Usung Anies Baswedan, tapi Tunggu Restu Megawati

Nasional
38 DPW PAN Dukung Zulhas untuk jadi Ketum Lagi

38 DPW PAN Dukung Zulhas untuk jadi Ketum Lagi

Nasional
PKS Usung Duet Anies-Sohibul, PDI-P Utamakan Kader Sendiri

PKS Usung Duet Anies-Sohibul, PDI-P Utamakan Kader Sendiri

Nasional
Waketum Nasdem: Kalau Parpol Punya Prinsip, Kenapa Tergantung 'Cawe-cawe' Jokowi?

Waketum Nasdem: Kalau Parpol Punya Prinsip, Kenapa Tergantung "Cawe-cawe" Jokowi?

Nasional
Ajak Hidup Sehat, Bank Mandiri Gelar Program Bakti Kesehatan untuk Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta

Ajak Hidup Sehat, Bank Mandiri Gelar Program Bakti Kesehatan untuk Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com