Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fahmi Ramadhan Firdaus
Dosen

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember | Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember

Buru-buru Revisi UU di Masa "Bebek Lumpuh"

Kompas.com - 19/06/2024, 05:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MASUK masa “Lame Duck“ menjelang masa akhir jabatannya, DPR periode 2019 – 2024 mengebut pembahasan beberapa rancangan undang-undang yang strategis dan berdampak luas.

Salah satunya RUU Mahkamah Konstitusi yang dilaksanakan secara tertutup dengan materi perubahan yang tidak substansial secara kelembagaan.

Pembahasan terburu-buru menuai perhatian publik sebab berpotensi menghasilkan produk undang-undang bermasalah, baik secara materiil dengan pasal kontroversial maupun secara formil yang tidak tertib prosedur dan tidak transparan, berimplikasi diuji dan dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Produktif di masa "Lame Duck"

Masa akhir jabatan parlemen atau pemerintahan dikenal sebagai “Lame Duck Session" atau fenomena "Bebek Lumpuh".

Diartikan sebagai periode transisi lembaga legislatif ataupun pemerintahan di mana telah terpilih anggota ataupun orang yang akan menggantikan, di sisi lain anggota parlemen periode berjalan sudah melewati masa pemilihan umum dan tinggal menunggu waktu untuk berganti periode.

Menurut Jack M Beerman dan William P Marshall dalam ”The Constitutional Law of Presidential Transitions”, “Lame Duck” terjadi ketika pejabat petahana tetap memegang kekuasaan pada jabatannya masing-masing, meski pemilihan umum telah selesai dan pejabat petahana tersebut tak lagi terpilih. Sebagai petahana mereka masih memiliki kewenangan sampai masa jabatan selesai.

Pejabat petahana yang berdiam di jabatan-jabatan mereka masuk dalam periode Lame Duck.

Istilah Bebek Lumpuh pada awalnya dikenal di Inggris abad ke-18 untuk pengusaha bangkrut yang dianggap “lumpuh”, seperti burung-burung yang terluka karena ditembak.

Pada 1830-an, istilahnya telah diperluas ke pejabat yang masa jabatannya sudah diketahui tanggal penghentiannya sebagaimana telah ditentukan.

Sedangkan contoh lain di Amerika Serikat ketika seorang presiden dianggap sebagai “Bebek Lumpuh” setelah penggantinya terpilih dan ia tidak mencalonkan kembali pada pemilihan berikutnya.

Fenomena “Lame Duck” di Indonesia ditandai dengan meningkatnya produktivitas legislasi parlemen disertai proses pembentukan yang penuh kontroversi.

Jeda waktu yang cukup lama pada masa transisi berpotensi dimanfaatkan elite politik sebagai celah untuk memuluskan kepentingan politik tertentu yang tidak aspiratif serta tidak sejalan dengan kepentingan rakyat.

Produktivitas legislasi yang tinggi seharusnya diterapkan secara konsisten selama 5 tahun kebelakang saat DPR Periode 2019 – 2024 menjabat.

Melihat setahun kebelakang berdasarkan catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), dari 47 RUU yang masuk kedalam Prolegnas Prioritas 2024, hingga saat ini hanya satu UU yang berhasil disahkan, yaitu Revisi UU Daerah Khusus Jakarta dan satu UU yang masuk Daftar Kumulatif Terbuka disahkan, yaitu Revisi UU Desa.

Minimnya RUU dalam Prolegnas Prioritas 2024 yang disahkan menunjukan kinerja legislasi DPR jauh dari kata memuaskan.

Menjelang berakhirnya masa jabatan DPR periode 2019 – 2024 pada 1 Oktober 2024, mustahil rasanya parlemen dapat mengejar ketertinggalan untuk menyelesaikan 46 RUU sisa dalam Prolegnas 2024 dengan tetap memenuhi aspek materiil dan aspek formil.

Pembentukan UU saat masa Lame Duck yang kontroversial bukan pertama kali terjadi. Pada 26 September 2014, menjelang akhir masa jabatan DPR Periode 2009 – 2014, disahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada yang menghapuskan pemilihan langsung oleh rakyat dan mengalihkan pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Namun kemudian dibatalkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 yang mengembalikan pelaksanaan Pilkada secara langsung.

Selanjutnya pada akhir masa jabatan DPR Periode 2019 – 2024, di mana revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dibahas terburu-buru hanya dalam waktu 11 hari dan disahkan pada 17 September 2019 sebelum Anggota DPR yang baru dilantik pada 1 Oktober 2019.

Publik harus lebih aware lagi menyikapi masa Lame Duck agar para pembentuk undang-undang serta elite politik tidak memanfaatkan momentum ini untuk membentuk legislasi yang tidak sesuai asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan tidak sejalan dengan aspirasi publik.

Legislasi abai partisipasi

Pembentuk undang-undang tentu tidak boleh melupakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja yang menjadi Landmark Decision sebagai warning agar pembentukan undang-undang tidak mengesampingkan aspek formil, salah satunya partisipasi yang tidak sekadar formalitas tanpa makna.

Putusan tersebut menekankan partisipasi publik yang dilakukan dalam pembentukan undang-undang haruslah partisipasi yang bermakna (meaningful participation).

Partisipasi yang bermakna memiliki tiga prasyarat yang penting. Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard).

Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 kemudian menjadi salah satu latar belakang Revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, agar mengatur kembali mekanisme partisipasi publik yang bermakna dan bukan formalitas semata.

Secara spesifik apa yang menjadi koreksi Mahkamah Konstitusi dapat kita lihat pada Pasal 96 Undang-Undang No. 13 Tahun 2022.

Right to be heard dituliskan pada Pasal 96 ayat (1) sebagai berikut: "Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan".

Kemudian di ayat (2) ditambahkan bahwa pemberian masukan masyarakat dilakukan secara daring dan/atau luring.

Hak kedua, yakni right to be considered, dapat dilihat pada Pasal 96 ayat (7) Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 yang menyatakan bahwa hasil dari konsultasi publik menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan Peraturan Perundang-undangan.

Terakhir, right to be explained dijelaskan pada Pasal 96 ayat (8) Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 bahwa pembentuk peraturan perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat.

Pertanyannya, apakah para pembentuk undang-undang telah mengakomodasi partisipasi publik yang bermakna pada masa Lame Duck saat ini?

Untuk menjawab hal tersebut kita dapat melihat pembahasan revisi UU MK yang dilaksanakan secara diam-diam dan tertutup.

Praktik tersebut tidak mencerminkan prinsip meaningful participation di mana publik seharusnya dapat mengetahui sejauh mana proses pembentukan undang-undang dan memberikan masukan sejak perencanaan hingga pengesahan.

Sementara yang terjadi DPR bersama pemerintah melaksanakan rapat pengambilan keputusan tingkat pertama terkait revisi UU MK secara tertutup.

Terhadap publik yang mengkritik hal tersebut, DPR justru merespons dengan arogansi “bagi pihak yang tidak setuju dengan RUU terkait silahkan mengujinya di Mahkamah Konstitusi”.

Alih-alih menempatkan publik sebagai mitra legislasi, karakter otoriter yang demikian tidak semestinya dikemukakan sebab menempatkan publik sebagai pihak yang berlawanan dengan pembentuk undang-undang.

Padahal publik seharusnya mendapatkan tempat sebagai partner yang seimbang mengingat revisi UU MK yang berpotensi disahkan nantinya berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap publik.

Secara materiil, revisi UU MK mengotak-atik jaminan masa jabatan hakim yang seharusnya tidak boleh diintervensi.

Sebagaimana terlihat pada Pasal 87 huruf a draf RUU MK yang mengatur bahwa hakim konstitusi yang telah menduduki jabatan selama lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun harus mendapatkan konfirmasi dari lembaga pengusul apabila akan melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun.

Ketentuan tersebut jelas merupakan penyanderaan terhadap hakim konstitusi yang dihantui oleh evaluasi.

Lebih jauh lagi praktik ini merupakan sinyal pelemahan negara hukum sebab mengancam independensi kekuasaan kehakiman.

Publik tidaklah alergi dengan revisi UU termasuk UU MK jika memang menjadi kebutuhan hukum dan sesuai dengan aspek formil dan materiil aturan main pembentukan undang-undang.

Selama ini pembentuk undang-undang lebih berfokus pada jabatan dan syarat usia hakim, padahal masih banyak kebutuhan yang diperlukan Mahkamah Konstitusi demi penguatan secara kelembagaan.

Di antaranya melengkapi hukum acara tentang pembubaran partai politik dan impeachment presiden dan/atau wakil presiden serta perlu menambahkan kewenangan Constitutional Complaint dan Constitutional Question sebagai bentuk komitmen terhadap jaminan konstitusional warga negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 2 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 2 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Anggota DPR: PDN Itu Seperti Brankas Berisi Emas dan Berlian, Obyek Vital

Anggota DPR: PDN Itu Seperti Brankas Berisi Emas dan Berlian, Obyek Vital

Nasional
Kuasa Hukum Sebut Staf Hasto Minta Perlindungan ke LPSK karena Merasa Dijebak KPK

Kuasa Hukum Sebut Staf Hasto Minta Perlindungan ke LPSK karena Merasa Dijebak KPK

Nasional
Kuasa Hukum Bantah Hasto Menghilang Setelah Diperiksa KPK

Kuasa Hukum Bantah Hasto Menghilang Setelah Diperiksa KPK

Nasional
Pejabat Pemerintah Dinilai Tak 'Gentle' Tanggung Jawab Setelah PDN Diretas

Pejabat Pemerintah Dinilai Tak "Gentle" Tanggung Jawab Setelah PDN Diretas

Nasional
Tutup Bulan Bung Karno, PDI-P Gelar 'Fun Run' hingga Konser di GBK Minggu Besok

Tutup Bulan Bung Karno, PDI-P Gelar "Fun Run" hingga Konser di GBK Minggu Besok

Nasional
Beri Sinyal Poros Ketiga di Pilkada Jakarta, PDI-P: Kami Poros Rakyat

Beri Sinyal Poros Ketiga di Pilkada Jakarta, PDI-P: Kami Poros Rakyat

Nasional
Kasus Ahli Waris Krama Yudha Jadi Momentum Reformasi Hukum Kepailitan dan PKPU di Indonesia

Kasus Ahli Waris Krama Yudha Jadi Momentum Reformasi Hukum Kepailitan dan PKPU di Indonesia

Nasional
Gaspol! Hari Ini: Di Balik Layar Pencalonan Anies Baswedan-Sohibul Iman

Gaspol! Hari Ini: Di Balik Layar Pencalonan Anies Baswedan-Sohibul Iman

Nasional
PAN Pertimbangkan Kaesang jika Ridwan Kamil Tak Maju di Pilkada DKI

PAN Pertimbangkan Kaesang jika Ridwan Kamil Tak Maju di Pilkada DKI

Nasional
PDI-P Buka Peluang Usung Anies Baswedan, tapi Tunggu Restu Megawati

PDI-P Buka Peluang Usung Anies Baswedan, tapi Tunggu Restu Megawati

Nasional
38 DPW PAN Dukung Zulhas untuk jadi Ketum Lagi

38 DPW PAN Dukung Zulhas untuk jadi Ketum Lagi

Nasional
PKS Usung Duet Anies-Sohibul, PDI-P Utamakan Kader Sendiri

PKS Usung Duet Anies-Sohibul, PDI-P Utamakan Kader Sendiri

Nasional
Waketum Nasdem: Kalau Parpol Punya Prinsip, Kenapa Tergantung 'Cawe-cawe' Jokowi?

Waketum Nasdem: Kalau Parpol Punya Prinsip, Kenapa Tergantung "Cawe-cawe" Jokowi?

Nasional
Ajak Hidup Sehat, Bank Mandiri Gelar Program Bakti Kesehatan untuk Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta

Ajak Hidup Sehat, Bank Mandiri Gelar Program Bakti Kesehatan untuk Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com