Menjelang berakhirnya masa jabatan DPR periode 2019 – 2024 pada 1 Oktober 2024, mustahil rasanya parlemen dapat mengejar ketertinggalan untuk menyelesaikan 46 RUU sisa dalam Prolegnas 2024 dengan tetap memenuhi aspek materiil dan aspek formil.
Pembentukan UU saat masa Lame Duck yang kontroversial bukan pertama kali terjadi. Pada 26 September 2014, menjelang akhir masa jabatan DPR Periode 2009 – 2014, disahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada yang menghapuskan pemilihan langsung oleh rakyat dan mengalihkan pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Namun kemudian dibatalkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 yang mengembalikan pelaksanaan Pilkada secara langsung.
Selanjutnya pada akhir masa jabatan DPR Periode 2019 – 2024, di mana revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dibahas terburu-buru hanya dalam waktu 11 hari dan disahkan pada 17 September 2019 sebelum Anggota DPR yang baru dilantik pada 1 Oktober 2019.
Publik harus lebih aware lagi menyikapi masa Lame Duck agar para pembentuk undang-undang serta elite politik tidak memanfaatkan momentum ini untuk membentuk legislasi yang tidak sesuai asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan tidak sejalan dengan aspirasi publik.
Pembentuk undang-undang tentu tidak boleh melupakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja yang menjadi Landmark Decision sebagai warning agar pembentukan undang-undang tidak mengesampingkan aspek formil, salah satunya partisipasi yang tidak sekadar formalitas tanpa makna.
Putusan tersebut menekankan partisipasi publik yang dilakukan dalam pembentukan undang-undang haruslah partisipasi yang bermakna (meaningful participation).
Partisipasi yang bermakna memiliki tiga prasyarat yang penting. Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard).
Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 kemudian menjadi salah satu latar belakang Revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, agar mengatur kembali mekanisme partisipasi publik yang bermakna dan bukan formalitas semata.
Secara spesifik apa yang menjadi koreksi Mahkamah Konstitusi dapat kita lihat pada Pasal 96 Undang-Undang No. 13 Tahun 2022.
Right to be heard dituliskan pada Pasal 96 ayat (1) sebagai berikut: "Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan".
Kemudian di ayat (2) ditambahkan bahwa pemberian masukan masyarakat dilakukan secara daring dan/atau luring.
Hak kedua, yakni right to be considered, dapat dilihat pada Pasal 96 ayat (7) Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 yang menyatakan bahwa hasil dari konsultasi publik menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan Peraturan Perundang-undangan.
Terakhir, right to be explained dijelaskan pada Pasal 96 ayat (8) Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 bahwa pembentuk peraturan perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat.