Sambo terbukti menjadi otak dari pembunuhan berencana terhadap anak buahnya sendiri, Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Kejahatan itu dianggap tak berhubungan dengan statusnya sebagai perwira tinggi Polri.
Memang, kata Hibnu, dalam hukum, dikenal istilah delik propia yang merujuk pada kejahatan terkait jabatan yang diemban oleh pelaku. Namun, situasi ini tak tergambar dalam kasus Sambo.
“Ini kan tidak, ini kan pembunuhan berencana, bukan delik jabatan, bukan delik propia, ini adalah pembunuhan yang dilakukan seorang jendral kepada anak buahnya. Artinya kan tidak ada tupoksi membunuh anak buah, enggak relevan,” jelas Hibnu.
Sementara, terkait pertimbangan hakim yang menyebut bahwa Sambo sudah mengakui perbuatannya dan siap bertanggung jawab, Hibnu juga tak setuju.
Menurut dia, pengakuan atas kesalahan dan kemauan untuk bertanggung jawab merupakan keharusan pelaku tindak pidana, sehingga tak bisa digunakan sebagai dalih meringankan hukuman.
“Harus bertanggung jawab atas perbuatannya, hal yang umum yang tidak perlu dibuktikan,” ujar Hibnu.
Hibnu pun yakin, ke depan, Sambo dan tiga pelaku lainnya dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Yosua masih akan berupaya mencari keringanan hukuman. Para terpidana dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Lewat upaya hukum tersebut, hanya ada dua kemungkinan, yakni, hukuman tetap sama, atau diringankan. Lewat PK, hukuman seorang terpidana tak mungkin dianulir menjadi lebih berat.
“Ibaratnya gambling pun juga bisa dikabulkan, jadi siapa tahu ada angin segar, pasti mengajukan PK,” tutur Hibnu.
Samuel Hutabarat, ayah dari Brigadir J, mengaku sangat terkejut dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menganulir hukuman mati Ferdy Sambo menjadi penjara seumur hidup.
Samuel juga mengaku kaget MA memangkas hukuman tiga pelaku pembunuhan berencana Brigadir J lainnya, yakni Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf.
“Saya sangat terkejut, ibarat disambar petir di siang bolong karena sangat mengejutkan sekali bahwa ada keputusan keputusan Mahkamah Agung tentang kasasi Ferdy Sambo dan lainnya,” kata Samuel dalam Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Rabu (9/8/2023).
Samuel mengaku tak tahu-menahu tentang proses kasasi yang berjalan di MA. Katanya, ia dan keluarga baru mengetahui putusan tersebut pada Selasa (8/8/2023) sore, itu pun setelah dihubungi awak media.
Baca juga: Singgung Kasus Ferdy Sambo, Megawati: Ke Mana Perikemanusiaan dan Moral Polisi?
Tak seperti proses hukum sebelumnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, menurut Samuel, proses kasasi di MA tak berjalan transparan.
Saat Ferdy Sambo dkk diadili di PN Jaksel, Samuel mengaku, dirinya dan keluarga selalu mendapat informasi tentang jadwal persidangan beberapa hari sebelumnya. Begitupun dengan proses banding di PT DKI Jakarta.
Namun, tidak demikian dengan proses hukum di MA. Padahal, Samuel mengatakan, dirinya ingin mengetahui alasan hakim memberikan diskon hukuman ke para pelaku pembunuhan putranya.
“Di Mahkamah Agung ini kita ibarat petir di siang bolong, tidak ada angin, tidak ada hujan, ada petir. Artinya, begitu ada keputusan langsung diomongkan, bagaimana kita mengetahui secara transparan?” ujarnya.
Samuel dan keluarga pun merasa kecewa dengan putusan MA. Dia menilai, seharusnya, hukuman para pelaku pembunuhan Yosua tak dikurangi.
“Itulah yang membuat kami sangat kecewa,” tutur Samuel.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.