JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengamini bahwa aparat negara rawan tidak netral menjelang pelaksanaan Pemilu 2024.
"Itu dalam (potensi kerawanannya). Sangat dalam, ya, tinggi lah. Makanya jadi perhatian kami," kata Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, Rabu (15/11/2023).
Bawaslu, sebut dia, bahkan sampai melakukan penelitian tersendiri dalam memetakan indeks kerawanan pemilu dari aspek potensi ketidaknetralan ASN, TNI, dan Polri.
Terlebih, Komisi ASN kini sudah ditiadakan setelah disahkannya UU ASN yang baru.
Baca juga: Bawaslu Kaji Dugaan Pelanggaran Cawapres karena Ajak Memilih Saat Dapat Nomor Urut
"Semua punya potensi untuk melakukan intervensi kepada ASN," ujar Bagja.
"Kami sedang menginvestigasi beberapa kejadian (ketidaknetralan aparat) di lapangan karena ada beberapa berita yang harus diklarifikasi kepada teman-teman Bawaslu di daerah," ia menambahkan.
Ia memberi contoh, potensi ketidaknetralan yang paling mudah dilihat di permukaan adalah keberpihakan atas program/kebijakan tertentu terhadap pasangan calon tertentu.
Modus ini banyak dijumpai dalam pelaksanaan pilkada, namun juga tak sedikit ditemui jelang pelaksanaan Pemilu 2024.
Baca juga: Gibran: Kalau Ada Kecurangan Pemilu 2024, Silakan Lapor ke Bawaslu
"Program-program pemerintah atau program yang berkaitan dengan negara juga itu diajukan untuk kepentingan peserta pemilu tertentu, itu juga tidak boleh," kata Bagja.
Bagja juga menyoroti tingginya potensi kerawanan pemilu dari segi netralitas penyelenggara pemilu. Isu ini juga menempati urutan teratas dalam indeks kerawanan pemilu yang sempat diluncurkan Bawaslu.
Ia mengeklaim akan bertindak tegas terkait hal itu
"Apalagi terhadap diri kami, terhadap orang saja kami awasi, terhadap peserta pemilu, apalagi terhadap penyelenggara kami tingkat bawah," ujar dia.
Sebelumnya, dalam Launching Pemetaan Kerawanan Pemilu Isu Strategis Netralitas ASN di Manado, Kamis (21/9/2023), Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu RI, Lolly Suhenty, menyinggung bahwa netralitas ASN ini kerap dilatarbelakangi motif keinginan mendapatkan atau mempertahankan jabatan.
Baca juga: KPU Bantah Bawaslu Tak Bisa Awasi Proses hingga Penetapan Capres-Cawapres
Motif lainnya yakni hubungan primordial antara ASN dan kandidat.
"Aspek kultural dan patronase dalam birokrasi yang dominan. Tekanan dari pimpinan," kata Lolly dalam sambutannya, dikutip dari akun resmi YouTube Bawaslu RI.
"Tawaran yang menggiurkan dari pejabat struktural untuk mendapatkan keuntungan seperti promosi jabatan, sebaliknya bawahan tidak mampu melakukan penolakan dengan ancaman-ancaman yang ada," sambungnya.
Di samping itu, implementasi regulasi yang ada dinilai kurang menggetarkan. Rekomendasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebagai pihak berwenang juga seringkali tidak dijalankan oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK).
Baca juga: Bawaslu Klaim Tak Bisa Awasi KPU hingga Penetapan 3 Capres-Cawapres
Hasil pemetaan Bawaslu, netralitas ASN pada Pemilu dan Pilkada 2024 nanti memiliki polanya sendiri, seperti mempromosikan kandidat tertentu dan menyatakan dukungan secara terbuka melalui media sosial dan media lainnya.
ASN, misalnya, tergabung di dalam grup pesan WhatsApp yang teridentifikasi memberi dukungan terhadap calon peserta pemilu atau pilkada.
Bawaslu juga menemukan penggunaan fasilitas negara untuk mendukung petahana serta adanya ASN yang secara aktif maupun pasif terlibat dalam kampanye.
Kebanyakan, dalam isu ini, pejabat struktural yang memegang kuasa tak banyak tersentuh dan lebih sering berperan sebagai perantara. Para staf berada di posisi yang lebih rentan menjadi korban.
Bawaslu mendorong sosialisasi kepada seluruh ASN secara masif terkait pentingnya ASN bersikap netral, optimalisasi patroli pengawasan siber di media sosial, dan memperkuat kerja sama dengan Komisi ASN, Kemendagri, KemenPAN RB, kepolisian, serta pemerintah daerah.
Baca juga: Caleg Perempuan Tak Capai Target di Banyak Dapil, KPU Dilaporkan ke Bawaslu
Di tingkat provinsi, netralitas ASN jadi isu paling rawan dan berpotensi terjadi di 22 provinsi. Sedangkan untuk di tingkat kabupaten/kota berpotensi terjadi di 347 kabupaten kota.
Sepuluh provinsi dinilai menjadi kawasan paling rawan dalam isu ini. Sepuluh provinsi itu meliputi Maluku Utara, Sulawesi Utara, Banten, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat, Gorontalo, dan Lampung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.