Di sisi lain, ketidakmampuan Hosni menangkap aspirasi publik juga tak berbeda dengan Amerika Serikat.
Arab Spring di Mesir berubah menjadi lahan Islam politik, yang justru ditakuti Amerika Serikat. Obama nampaknya tak sempat memproyeksikan hal itu jauh-jauh hari.
Padahal, Amerika Serikat sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh Israel atas sikapnya yang mengesampingkan Hosni tersebut.
Namun sayang, peringatan PM Israel Benjamin Netanyahu tak didengar. Maklum, tahun-tahun tersebut adalah waktu di mana hubungan Israel dan Amerika Serikat memang kurang baik, terutama sejak Obama naik takhta di Gedung Putih.
Menurut Israel, kalau Hosni dipaksa turun, maka Islam garis keras alias "Muslim Brotherhood" akan naik tahta.
Analisa Bibi; sebutan lain buat Netanyahu ketika itu ternyata benar. Nama Mohammed Morsi terukir pada masa-masa Arab Spring Mesir. Ia pun kemudian naik takhta menggantikan Hosni.
Morsi atau Mursi mengirim Hosni dan anaknya ke penjara, lalu memboikot bisnis berupa suplai gas Mesir ke Israel.
Mursi kala itu nampaknya kurang mengerti bahwa di tangan Hosni, Israel dan Mesir sedang berbisnis gas bumi, yang menjadi salah satu sebab mengapa Hosni justru tetap mendapat dukungan dari Tel Aviv dan bertahan di atas takhta.
Mesir mendapat hadiah investasi pembangunan instalasi refinary di Alexandria (Iskandariyah); kota Pelabuhan terletak di sebelah barat laut Kairo, setelah mendorong pemimpin Palestina Yasser Arafat berdamai dengan Yitzhak Rabin, PM Israel.
Bisnis tersebut diinisiasi oleh petinggi intelijen Mesir dan Mossad, Kasim Salem dan Yossi Maiman.
Lalu kedua tokoh ini juga menginisiasi bisnis suplai gas ke Israel dari Sinai, dengan membangun pipa gas via Mediterania. Harganya jauh di bawah harga pasar.
Hosni mengizinkannya, karena kampanye Hosni mendapat dukungan pendanaan dari kedua tokoh intelijen tersebut.
Sialnya, di era Mursi, situasi berbalik. Penghentian kontrak pengadaan gas dengan Israel berakibat tuntutan oleh pihak Yossi Maiman ke Mesir, sekira 8 miliar dollar AS.
Lalu salah satu perusahaan oil dan gas Spanyol juga menuntut Mesir senilai 6 miliar dollar AS karena tindakan sepihak Mursi itu.
Mesir di era Mursi memang sedang sial. Mesir kekurangan uang. Utangnya pun jatuh tempo miliaran dollar AS, terutama utang dari perusahaan Migas Mesir.
Di sisi lain, Israel sudah menemukan cadangan gas baru yang sangat besar di Mediterania. Walhasil, Israel tak lagi tergantung pada Mesir.
Sementara Mesir justru mengalami hal yang sebaliknya. Cadangan gas Mesir mulai habis. Mesir diambang krisis energi dan krisis liquiditas. Mursi tak mampu memberikan jawaban yang meyakinkan untuk masa depan Mesir.
Ketidakcakapan Mursi dalam membaca peta geoekonomi dan geopolitik juga membawanya ke lubang kejatuhan.
Akhirnya Abdel Fattah al-Sisi, yang kala itu merupakan Menteri Pertahanan Kabinet Mursi, masuk ke gelanggang politik, menjatuhkan Mursi, lalu mengamankan perusahaan Migas Mesir.
Al - Sisi pun kembali ke meja negosiasi dengan Israel untuk mendapatkan suplai gas dari Israel.
Dengan kata lain, pipa gas dari Sinai ke Israel mau tidak mau dibalik arahnya, kini aliran gasnya dari Israel ke Mesir.
Situasi berbalik. Mesir kini tergantung pada Israel. Pun penguasanya kembali ke tipe semula, satu tipe dengan era Hosni, militeristik dan otoriter.