Al -Sisi mampu mengamankan Mesir dari ancaman krisis plus ancaman manuver Islam garis keras. Meskipun tidak demokratis, kondisi tersebut memaksa Obama harus menoleransi kehadiran Abdul Fattah al - Sisi, yang juga didukung oleh Tel Aviv. Al - Sisi bertahan sebagai penguasa Mesir sampai hari ini.
Tak ada yang pernah membayangkan sebelumnya bahwa Abdul Fattah al - Sisi akan berkuasa, atau Hosni Mubarak akan dihantam Arab Spring yang membuat Gamal Mubarak akhirnya harus gigit jari.
Pun tak terbayangkan sebelumnya bahwa Arab Spring berumur pendek, karena memberi peluang kepada Islam garis keras seperti "Muslim Brotherhood" untuk muncul yang ternyata kurang cocok dengan peta geopolitik yang ada.
Imajinasi yang sama berlaku pada Perancis sebelum diinvasi oleh Adolf Hitler, misalnya. Maginot Line membuat Perancis merasa nyaman pascaperang dunia pertama bahwa diasumsikan Jerman tidak akan mampu lagi menembus garis pertahanan Perancis untuk kedua kalinya (setelah perang dunia pertama).
Namun Hitler memilih jalan lain di luar bayangan Perancis, yakni hutan lebat Ardennes dengan sokongan pil "pemberani" alias Pervitin alias semacam sabu-sabu untuk pasukannya. Dengan sokongan suplemen obat Pervitin pills untuk pasukan Jerman itu, Perancis pun takluk.
Hal-hal tak terbayangkan tersebut bukan sesuatu yang baru. Di Indonesia, nama Soeharto bukanlah nama tenar tahun 1950-an sampai 1960-an.
Akhirnya nama itulah yang muncul sebagai penerus kekuasaan Soekarno setelah peritiwa berdarah 1965. Dan Soeharto pun tak sadar bahwa kuasanya akan dirampas oleh publik secara paksa tahun 1998, karena amarah publik.
Di Jerman, Angela Merkel pun tak pernah bermimpi menjadi kanselir Jerman sebelum tembok Berlin runtuh, karena ketika itu Angela hanyalah seorang doktor fisika yang menghabiskan waktunya di laboratorium.
Pun Donald Trump, yang jumlah coblosannya kalah banyak dibanding Hillary Clinton, atau Jokowi yang namanya dengan sangat cepat melesat ke panggung nasional, atau kembalinya Mahathir Mohamad di Malaysia beberapa waktu lalu, plus kembalinya Joe Biden di umurnya yang relatif cukup uzur untuk pemilihan 2020 lalu, semuanya di luar radar proyektif kita.
Adigium mengatakan bahwa politik itu lebih daripada permainan bola. Jika dalam permainan bola dikenal istilah "bola itu bundar", siapa saja bisa menang, maka dalam politik bola itu fleksibel: bisa bundar, kotak, segitiga, kubus, jajaran genjang, dan seterusnya.
Dengan kata lain, tidak ada yang benar-benar bisa merekayasa hasil akhir proses politik. Penguasa bisa saja menebar begitu banyak ‘pupuk’ politik kepada anggota keluarga, pun bisa mendesain agar anggota keluarganya menjadi petinggi lembaga itu, ketua organisasi ini dan itu, ketua relawan ini dan itu, bahkan ketua partai ini, agar kekuasaan tetap bisa dipertahankan.
Pun penguasa bisa saja merasa percaya diri karena telah mengamankan diri di berbagai lini, mulai dari lini politik, ekonomi, hukum, organisasi, budaya, dan lainnya, sehingga celah untuk kepeleset nyaris menjadi nol.
Tapi seperti yang dialami Hosni Mubarak, Soeharto, Mohammed Morsi, Saddam Hussein, Ferdinand Marcos, Hillary Clinton, dan banyak lainnya, hasil akhir dari proses politik tetap saja tidak pernah benar-benar bisa diprediksi.
Kebencian publik sangat mungkin tak terlihat, karena publik secara sadar menyensor diri (self - censorhip) untuk menampakkan kemarahannya.
Ketakutan dilaporkan kepada pihak berwajib atau diserang para pendukung bayaran bisa saja menjadi pertimbangan publik untuk tidak memperlihatkan isi hati dan kegundahan mereka secara jujur dan terbuka.
Pendek kata, penguasa dan jejaring oligarki yang merasa telah mengamankan semua jalur agar tidak gagal dalam setiap aksinya tidak berarti tidak terdapat celah untuk terpeleset.
Pada satu titik, kebencian dan amarah publik akan mendapatkan jalannya, sekaligus penyebabnya boleh jadi hanya peristiwa biasa, hal remeh temeh.
Artinya, kebencian pada politik dinasti, kebencian kepada elite-elite perusak nalar rasional pemilih, kebencian pada ulah jejaring oligarki penguras ekonomi negeri ini, kebencian kepada buzzer-buzzer pembela kerakusan para oligarki, kemarahan kepada model pembangunan yang kasar tanpa rasa kemanusiaan, kebencian pada konspirasi-konspirasi politik untuk mengatur hasil pemilihan dan mengkhianati kedaulatan rakyat, dan sebagainya, pada suatu waktu boleh jadi akan meledak.
Dan jika sampai terjadi, tak ada yang benar-benar mengetahui magnitudo ledakannya. Boleh jadi lebih dahsyat dibanding tahun 1997/1998 dan Arab Spring, atau mendekati peristiwa Revolusi Perancis, di mana kala itu para elite Perancis akhirnya harus berakhir di tiang pancungan, misalnya.
Bagi saya, cerita di atas pesannya sangat jelas, terutama untuk para elite dan penguasa. Setiap upaya untuk melanggengkan kekuasaan di satu sisi dan upaya mengingkari akal sehat publik di sisi lain, ujungnya bisa saja akan sangat tidak terduga.
Dan biasanya ujung tersebut adalah bencana yang buruk. Betapa indahnya stabilitas dan suasana aman nan damai, karenanya semoga kisah tersebut bisa dipahami oleh kita semua utamanya para elite di sini. Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.