Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Pelajaran Politik bagi Para Punggawa Mabuk Kuasa

Kompas.com - 29/09/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Al -Sisi mampu mengamankan Mesir dari ancaman krisis plus ancaman manuver Islam garis keras. Meskipun tidak demokratis, kondisi tersebut memaksa Obama harus menoleransi kehadiran Abdul Fattah al - Sisi, yang juga didukung oleh Tel Aviv. Al - Sisi bertahan sebagai penguasa Mesir sampai hari ini.

Tak ada yang pernah membayangkan sebelumnya bahwa Abdul Fattah al - Sisi akan berkuasa, atau Hosni Mubarak akan dihantam Arab Spring yang membuat Gamal Mubarak akhirnya harus gigit jari.

Pun tak terbayangkan sebelumnya bahwa Arab Spring berumur pendek, karena memberi peluang kepada Islam garis keras seperti "Muslim Brotherhood" untuk muncul yang ternyata kurang cocok dengan peta geopolitik yang ada.

Imajinasi yang sama berlaku pada Perancis sebelum diinvasi oleh Adolf Hitler, misalnya. Maginot Line membuat Perancis merasa nyaman pascaperang dunia pertama bahwa diasumsikan Jerman tidak akan mampu lagi menembus garis pertahanan Perancis untuk kedua kalinya (setelah perang dunia pertama).

Namun Hitler memilih jalan lain di luar bayangan Perancis, yakni hutan lebat Ardennes dengan sokongan pil "pemberani" alias Pervitin alias semacam sabu-sabu untuk pasukannya. Dengan sokongan suplemen obat Pervitin pills untuk pasukan Jerman itu, Perancis pun takluk.

Hal-hal tak terbayangkan tersebut bukan sesuatu yang baru. Di Indonesia, nama Soeharto bukanlah nama tenar tahun 1950-an sampai 1960-an.

Akhirnya nama itulah yang muncul sebagai penerus kekuasaan Soekarno setelah peritiwa berdarah 1965. Dan Soeharto pun tak sadar bahwa kuasanya akan dirampas oleh publik secara paksa tahun 1998, karena amarah publik.

Di Jerman, Angela Merkel pun tak pernah bermimpi menjadi kanselir Jerman sebelum tembok Berlin runtuh, karena ketika itu Angela hanyalah seorang doktor fisika yang menghabiskan waktunya di laboratorium.

Pun Donald Trump, yang jumlah coblosannya kalah banyak dibanding Hillary Clinton, atau Jokowi yang namanya dengan sangat cepat melesat ke panggung nasional, atau kembalinya Mahathir Mohamad di Malaysia beberapa waktu lalu, plus kembalinya Joe Biden di umurnya yang relatif cukup uzur untuk pemilihan 2020 lalu, semuanya di luar radar proyektif kita.

Adigium mengatakan bahwa politik itu lebih daripada permainan bola. Jika dalam permainan bola dikenal istilah "bola itu bundar", siapa saja bisa menang, maka dalam politik bola itu fleksibel: bisa bundar, kotak, segitiga, kubus, jajaran genjang, dan seterusnya.

Dengan kata lain, tidak ada yang benar-benar bisa merekayasa hasil akhir proses politik. Penguasa bisa saja menebar begitu banyak ‘pupuk’ politik kepada anggota keluarga, pun bisa mendesain agar anggota keluarganya menjadi petinggi lembaga itu, ketua organisasi ini dan itu, ketua relawan ini dan itu, bahkan ketua partai ini, agar kekuasaan tetap bisa dipertahankan.

Pun penguasa bisa saja merasa percaya diri karena telah mengamankan diri di berbagai lini, mulai dari lini politik, ekonomi, hukum, organisasi, budaya, dan lainnya, sehingga celah untuk kepeleset nyaris menjadi nol.

Tapi seperti yang dialami Hosni Mubarak, Soeharto, Mohammed Morsi, Saddam Hussein, Ferdinand Marcos, Hillary Clinton, dan banyak lainnya, hasil akhir dari proses politik tetap saja tidak pernah benar-benar bisa diprediksi.

Kebencian publik sangat mungkin tak terlihat, karena publik secara sadar menyensor diri (self - censorhip) untuk menampakkan kemarahannya.

Ketakutan dilaporkan kepada pihak berwajib atau diserang para pendukung bayaran bisa saja menjadi pertimbangan publik untuk tidak memperlihatkan isi hati dan kegundahan mereka secara jujur dan terbuka.

Pendek kata, penguasa dan jejaring oligarki yang merasa telah mengamankan semua jalur agar tidak gagal dalam setiap aksinya tidak berarti tidak terdapat celah untuk terpeleset.

Pada satu titik, kebencian dan amarah publik akan mendapatkan jalannya, sekaligus penyebabnya boleh jadi hanya peristiwa biasa, hal remeh temeh.

Artinya, kebencian pada politik dinasti, kebencian kepada elite-elite perusak nalar rasional pemilih, kebencian pada ulah jejaring oligarki penguras ekonomi negeri ini, kebencian kepada buzzer-buzzer pembela kerakusan para oligarki, kemarahan kepada model pembangunan yang kasar tanpa rasa kemanusiaan, kebencian pada konspirasi-konspirasi politik untuk mengatur hasil pemilihan dan mengkhianati kedaulatan rakyat, dan sebagainya, pada suatu waktu boleh jadi akan meledak.

Dan jika sampai terjadi, tak ada yang benar-benar mengetahui magnitudo ledakannya. Boleh jadi lebih dahsyat dibanding tahun 1997/1998 dan Arab Spring, atau mendekati peristiwa Revolusi Perancis, di mana kala itu para elite Perancis akhirnya harus berakhir di tiang pancungan, misalnya.

Bagi saya, cerita di atas pesannya sangat jelas, terutama untuk para elite dan penguasa. Setiap upaya untuk melanggengkan kekuasaan di satu sisi dan upaya mengingkari akal sehat publik di sisi lain, ujungnya bisa saja akan sangat tidak terduga.

Dan biasanya ujung tersebut adalah bencana yang buruk. Betapa indahnya stabilitas dan suasana aman nan damai, karenanya semoga kisah tersebut bisa dipahami oleh kita semua utamanya para elite di sini. Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com