Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Pelajaran Politik bagi Para Punggawa Mabuk Kuasa

Kompas.com - 29/09/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH Mohamed Hosni Said Mubarak atau lebih dikenal dengan sebutan Hosni Mubarak yang berlatar militer terpilih lagi sebagai Presiden Mesir untuk keempat kalinya pada 2001, Susan Mubarak (istri Hosni Mubarak/Suzanne Mubarak) ternyata juga menyiapkan putra mereka, Gamal Mubarak sebagai penerusnya.

Gamal yang sudah banyak membangun jaringan dengan kalangan elite politik dan pengusaha Mesir pun masuk partai dan memulai karier politik.

Namun, ketika itu Hosni masih berhasrat untuk terus berkuasa, sehingga perang dingin terjadi di dalam keluarga Hosni sendiri.

Di satu sisi ada Susan dan Gamal, di sisi lain ada Hosni, sang bapak, ditambah dengan anaknya yang lain, yaitu Ala Mubarak yang sebenarnya cenderung netral.

Sampai akhirnya pada 2009, sang cucu kesayangan meninggal dunia karena penyakit. Cucu tersebut adalah Muhammed, anak dari Ala, kakak Gamal Mubarak.

Santer dikabarkan secara semangat hidup Hosni ‘ikut terkubur’ bersama cucunya itu, karena begitu sayangnya beliau kepada sang cucu.

Dengan kata lain, hasrat Hosni untuk terus berkuasa hilang setelah kematian cucu kesayangannya itu.

Dan Hosni sesungguhnya sudah menyiapkan diri untuk "step down," secara prosedural. Lalu menyerahkan tampuk kekuasaan kepada sang anak, setelah infrastruktur politik Gamal Mubarak siap tentunya.

Di sisi lain, Gamal akhirnya memenangkan pemilihan secara telak, tentunya dengan banyak kecurangan dan lainnya di pemilihan tahun 2010, tipikal ‘standar’ dalam pemilihan di negara otoritarian.

Ketika itu, Gamal menjadi sosok penguasa mayoritas yang nyaris tanpa oposisi di Parlemen negeri Fir’aun itu.

Semua terlihat berjalan sangat baik sesuai rencana. Gamal menunggu selangkah lagi menuju bangku presiden, sebagai penerus dinasti Hosni Mubarak.

Namun awal 2011, Tunisia bergejolak. Arab Spring datang menyambangi. Presiden Ben Ali pun "selesai" seketika di Tunisia.

Tak ada yang pernah menduga awal dari fenomena politik dahsyat bernama "Arab Spring" bermula di Tunisia, dengan peristiwa pemicunya adalah seorang pedagang kaki lima yang membakar diri setelah barang dagangannya disita polisi setempat.

Begitulah yang terjadi. Amarah dan kebencian publik kepada penguasa bisa saja tidak terlihat untuk waktu lama. Bukan berarti tidak berbahaya, karena sebenarnya amarah dan kebencian tersebut hanya menunggu waktu dan pemicu yang tepat lalu meledak.

Awalnya, Hosni Mubarak tak percaya gelombang Arab Spring dari Tunisia akan tumpah hingga ke Mesir. Namun setelah benar-benar terjadi, Hosni menyadari bahwa tingkat antipati dan kebencian publik Mesir ternyata juga tak kalah hebatnya dibanding Tunisia.

Menyadari itu, Hosni kemudian bertindak dengan membatalkan semua posisi kabinet dan bersiap melakukan reformasi. Hampir persis dengan Soeharto awal 1997, ketika krisis finansial mulai merembes dari Thailand ke Indonesia.

Sayangnya, langkah–langkah dadakan tersebut ternyata tidak cukup dan sangat terlambat. Massa semakin menggila. Aparat pun demikian. Korban berjatuhan.

Dan dari kejauhan, sang aliansi strategis, Barack Obama yang kala itu adalah Presiden Amerika Serikat, memberikan pidatonyo khusus terkait peristiwa di Mesir.

Isi utamanya adalah menurut sang aliansi utama; Amerika Serikat, era Hosni sudah selesai di Mesir.

Sang diktator yang telah berada di takhta kekuasaan negara Piramida selama 30 tahun itu tentu kaget bukan kepalang.

Hosni tak habis pikir. Ia merasa sudah berjuang habis-habisan untuk kepentingan sang aliansi sejak pertama kali menjadi presiden menggantikan Presiden Anwar Sadat yang terbunuh, tapi kini ia merasa ditusuk dari belakang oleh pihak yang pernah ia bela dan perjuangkan.

Sementara itu, sebelum Hosni mengasingkan diri, pertengkaran terjadi di dalam keluarga itu. Gamal dan Susan bersitegang dengan Hosni, yang dianggapnya terlalu lama menurunkan takhta kekuasaan ke Gamal, yang akhirnya didahului peristiwa Arab Spring.

Di sisi lain, ketidakmampuan Hosni menangkap aspirasi publik juga tak berbeda dengan Amerika Serikat.

Arab Spring di Mesir berubah menjadi lahan Islam politik, yang justru ditakuti Amerika Serikat. Obama nampaknya tak sempat memproyeksikan hal itu jauh-jauh hari.

Padahal, Amerika Serikat sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh Israel atas sikapnya yang mengesampingkan Hosni tersebut.

Namun sayang, peringatan PM Israel Benjamin Netanyahu tak didengar. Maklum, tahun-tahun tersebut adalah waktu di mana hubungan Israel dan Amerika Serikat memang kurang baik, terutama sejak Obama naik takhta di Gedung Putih.

Menurut Israel, kalau Hosni dipaksa turun, maka Islam garis keras alias "Muslim Brotherhood" akan naik tahta.

Analisa Bibi; sebutan lain buat Netanyahu ketika itu ternyata benar. Nama Mohammed Morsi terukir pada masa-masa Arab Spring Mesir. Ia pun kemudian naik takhta menggantikan Hosni.

Morsi atau Mursi mengirim Hosni dan anaknya ke penjara, lalu memboikot bisnis berupa suplai gas Mesir ke Israel.

Mursi kala itu nampaknya kurang mengerti bahwa di tangan Hosni, Israel dan Mesir sedang berbisnis gas bumi, yang menjadi salah satu sebab mengapa Hosni justru tetap mendapat dukungan dari Tel Aviv dan bertahan di atas takhta.

Mesir mendapat hadiah investasi pembangunan instalasi refinary di Alexandria (Iskandariyah); kota Pelabuhan terletak di sebelah barat laut Kairo, setelah mendorong pemimpin Palestina Yasser Arafat berdamai dengan Yitzhak Rabin, PM Israel.

Bisnis tersebut diinisiasi oleh petinggi intelijen Mesir dan Mossad, Kasim Salem dan Yossi Maiman.

Lalu kedua tokoh ini juga menginisiasi bisnis suplai gas ke Israel dari Sinai, dengan membangun pipa gas via Mediterania. Harganya jauh di bawah harga pasar.

Hosni mengizinkannya, karena kampanye Hosni mendapat dukungan pendanaan dari kedua tokoh intelijen tersebut.

Sialnya, di era Mursi, situasi berbalik. Penghentian kontrak pengadaan gas dengan Israel berakibat tuntutan oleh pihak Yossi Maiman ke Mesir, sekira 8 miliar dollar AS.

Lalu salah satu perusahaan oil dan gas Spanyol juga menuntut Mesir senilai 6 miliar dollar AS karena tindakan sepihak Mursi itu.

Mesir di era Mursi memang sedang sial. Mesir kekurangan uang. Utangnya pun jatuh tempo miliaran dollar AS, terutama utang dari perusahaan Migas Mesir.

Di sisi lain, Israel sudah menemukan cadangan gas baru yang sangat besar di Mediterania. Walhasil, Israel tak lagi tergantung pada Mesir.

Sementara Mesir justru mengalami hal yang sebaliknya. Cadangan gas Mesir mulai habis. Mesir diambang krisis energi dan krisis liquiditas. Mursi tak mampu memberikan jawaban yang meyakinkan untuk masa depan Mesir.

Ketidakcakapan Mursi dalam membaca peta geoekonomi dan geopolitik juga membawanya ke lubang kejatuhan.

Akhirnya Abdel Fattah al-Sisi, yang kala itu merupakan Menteri Pertahanan Kabinet Mursi, masuk ke gelanggang politik, menjatuhkan Mursi, lalu mengamankan perusahaan Migas Mesir.

Al - Sisi pun kembali ke meja negosiasi dengan Israel untuk mendapatkan suplai gas dari Israel.

Dengan kata lain, pipa gas dari Sinai ke Israel mau tidak mau dibalik arahnya, kini aliran gasnya dari Israel ke Mesir.

Situasi berbalik. Mesir kini tergantung pada Israel. Pun penguasanya kembali ke tipe semula, satu tipe dengan era Hosni, militeristik dan otoriter.

Al -Sisi mampu mengamankan Mesir dari ancaman krisis plus ancaman manuver Islam garis keras. Meskipun tidak demokratis, kondisi tersebut memaksa Obama harus menoleransi kehadiran Abdul Fattah al - Sisi, yang juga didukung oleh Tel Aviv. Al - Sisi bertahan sebagai penguasa Mesir sampai hari ini.

Tak ada yang pernah membayangkan sebelumnya bahwa Abdul Fattah al - Sisi akan berkuasa, atau Hosni Mubarak akan dihantam Arab Spring yang membuat Gamal Mubarak akhirnya harus gigit jari.

Pun tak terbayangkan sebelumnya bahwa Arab Spring berumur pendek, karena memberi peluang kepada Islam garis keras seperti "Muslim Brotherhood" untuk muncul yang ternyata kurang cocok dengan peta geopolitik yang ada.

Imajinasi yang sama berlaku pada Perancis sebelum diinvasi oleh Adolf Hitler, misalnya. Maginot Line membuat Perancis merasa nyaman pascaperang dunia pertama bahwa diasumsikan Jerman tidak akan mampu lagi menembus garis pertahanan Perancis untuk kedua kalinya (setelah perang dunia pertama).

Namun Hitler memilih jalan lain di luar bayangan Perancis, yakni hutan lebat Ardennes dengan sokongan pil "pemberani" alias Pervitin alias semacam sabu-sabu untuk pasukannya. Dengan sokongan suplemen obat Pervitin pills untuk pasukan Jerman itu, Perancis pun takluk.

Hal-hal tak terbayangkan tersebut bukan sesuatu yang baru. Di Indonesia, nama Soeharto bukanlah nama tenar tahun 1950-an sampai 1960-an.

Akhirnya nama itulah yang muncul sebagai penerus kekuasaan Soekarno setelah peritiwa berdarah 1965. Dan Soeharto pun tak sadar bahwa kuasanya akan dirampas oleh publik secara paksa tahun 1998, karena amarah publik.

Di Jerman, Angela Merkel pun tak pernah bermimpi menjadi kanselir Jerman sebelum tembok Berlin runtuh, karena ketika itu Angela hanyalah seorang doktor fisika yang menghabiskan waktunya di laboratorium.

Pun Donald Trump, yang jumlah coblosannya kalah banyak dibanding Hillary Clinton, atau Jokowi yang namanya dengan sangat cepat melesat ke panggung nasional, atau kembalinya Mahathir Mohamad di Malaysia beberapa waktu lalu, plus kembalinya Joe Biden di umurnya yang relatif cukup uzur untuk pemilihan 2020 lalu, semuanya di luar radar proyektif kita.

Adigium mengatakan bahwa politik itu lebih daripada permainan bola. Jika dalam permainan bola dikenal istilah "bola itu bundar", siapa saja bisa menang, maka dalam politik bola itu fleksibel: bisa bundar, kotak, segitiga, kubus, jajaran genjang, dan seterusnya.

Dengan kata lain, tidak ada yang benar-benar bisa merekayasa hasil akhir proses politik. Penguasa bisa saja menebar begitu banyak ‘pupuk’ politik kepada anggota keluarga, pun bisa mendesain agar anggota keluarganya menjadi petinggi lembaga itu, ketua organisasi ini dan itu, ketua relawan ini dan itu, bahkan ketua partai ini, agar kekuasaan tetap bisa dipertahankan.

Pun penguasa bisa saja merasa percaya diri karena telah mengamankan diri di berbagai lini, mulai dari lini politik, ekonomi, hukum, organisasi, budaya, dan lainnya, sehingga celah untuk kepeleset nyaris menjadi nol.

Tapi seperti yang dialami Hosni Mubarak, Soeharto, Mohammed Morsi, Saddam Hussein, Ferdinand Marcos, Hillary Clinton, dan banyak lainnya, hasil akhir dari proses politik tetap saja tidak pernah benar-benar bisa diprediksi.

Kebencian publik sangat mungkin tak terlihat, karena publik secara sadar menyensor diri (self - censorhip) untuk menampakkan kemarahannya.

Ketakutan dilaporkan kepada pihak berwajib atau diserang para pendukung bayaran bisa saja menjadi pertimbangan publik untuk tidak memperlihatkan isi hati dan kegundahan mereka secara jujur dan terbuka.

Pendek kata, penguasa dan jejaring oligarki yang merasa telah mengamankan semua jalur agar tidak gagal dalam setiap aksinya tidak berarti tidak terdapat celah untuk terpeleset.

Pada satu titik, kebencian dan amarah publik akan mendapatkan jalannya, sekaligus penyebabnya boleh jadi hanya peristiwa biasa, hal remeh temeh.

Artinya, kebencian pada politik dinasti, kebencian kepada elite-elite perusak nalar rasional pemilih, kebencian pada ulah jejaring oligarki penguras ekonomi negeri ini, kebencian kepada buzzer-buzzer pembela kerakusan para oligarki, kemarahan kepada model pembangunan yang kasar tanpa rasa kemanusiaan, kebencian pada konspirasi-konspirasi politik untuk mengatur hasil pemilihan dan mengkhianati kedaulatan rakyat, dan sebagainya, pada suatu waktu boleh jadi akan meledak.

Dan jika sampai terjadi, tak ada yang benar-benar mengetahui magnitudo ledakannya. Boleh jadi lebih dahsyat dibanding tahun 1997/1998 dan Arab Spring, atau mendekati peristiwa Revolusi Perancis, di mana kala itu para elite Perancis akhirnya harus berakhir di tiang pancungan, misalnya.

Bagi saya, cerita di atas pesannya sangat jelas, terutama untuk para elite dan penguasa. Setiap upaya untuk melanggengkan kekuasaan di satu sisi dan upaya mengingkari akal sehat publik di sisi lain, ujungnya bisa saja akan sangat tidak terduga.

Dan biasanya ujung tersebut adalah bencana yang buruk. Betapa indahnya stabilitas dan suasana aman nan damai, karenanya semoga kisah tersebut bisa dipahami oleh kita semua utamanya para elite di sini. Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com